Bogor, Technology-indonesia.com – Induk sapi yang mengalami kesulitan melahirkan secara normal membutuhkan penanganan khusus. Salah satunya, melalui teknik bedah caesar untuk menyelamatkan induk sapi dan anaknya. Jika tidak tertangani dengan baik, peternak bisa mengalami kerugian secara ekonomi.
Untuk itu, Balai Besar Penelitian Veteriner (BB Litvet), Badan Litbang Pertanian menggelar bimbingan teknis (Bimtek) penanganan kesulitan melahirkan pada sapi melalui teknik bedah caesar di Bogor pada Rabu (27/3/2019). Bimtek bertujuan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan para pelaku di bidang peternakan khususnya kesehatan hewan.
Kabid Kesehatan Hewan, Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Lombok Timur, drh. Heru Rahmadi sebagai salah satu narasumber mengatakan teknik bedah caesar untuk induk sapi yang sulit melahirkan merupakan ilmu yang sangat penting dan memiliki aspek kemanusiaan yang tinggi.
“Apabila induk sapi kesulitan melahirkan dan anaknya tidak bisa keluar, di daerah saya, sapi itu akan akan dipotong atau dibeli oleh jagal dengan harga sangat murah, paling mahal sekitar Rp 5 juta. Jadi ini aspek kemanusiaannya sangat besar, kasihan masyarakat peternak kita yang menunggu kelahiran sapi itu. Padahal, ada teknik-teknik penanganannya yang bisa dikembangkan dan dipelajari,” terang Heru di sela-sela Bimtek yang digelar Kantor BB Litvet, Bogor.
Salah satu keberhasilan meningkatkan populasi ternak sapi, terangnya, adalah melalui inseminasi buatan maupun kawin alam. Teknik bedah Caesar sangat penting karena di Indonesia ada sapi dari ras-ras besar seperti Simental, Limosin, dan bahkan Belgian Blue yang akan dimassalkan di masyarakat.
Pada umumnya kesulitan melahirkan disebabkan karena semen yang digunakan untuk Inseminasi Buatan (IB) berasal dari jenis sapi eksotik seperti Limosin, Simmental, Brangus, dan lain-lain, sehingga anakannya yang dilahirkan ukurannya besar. Sementara sapi indukannya adalah sapi lokal yang performanya lebih kecil.
“Usia kebuntingan sapi hampir sama seperti manusia yaitu 9 bulan 10 hari. Menjelang lahir sudah bisa dideteksi jika ada kelainan pada pedet apakah sungsang atau melintang sehingga tidak mungkin lahir normal melalui saluran reproduksi. Karena itu, dokter-dokter hewan yang bertugas di daerah harus mampu mempunyai ilmu bedah caesar,” terang lulusan Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Heru mengungkapkan, sapi dari hasil kawin suntik, rata-rata 5-10% mengalami distokia atau kesulitan melahirkan. Tak hanya sapi hasil kawin suntik, sapi kawin alam juga bisa mengalami distokia. Sementara, kasus kematian sapi akibat sulit melahirkan sebagian besar karena terlambat dilaporkan, karena itu harus ada deteksi dini, laporan cepat, dan penanganan yang cepat.
Menurut Heru, kebutuhan dokter hewan idealnya paling tidak setiap 1 kecamatan ada 1 dokter. Di Nusa Tenggara Barat, satu kecamatan sudah ada 1 dokter hewan, 2 paramedis dan 5 inseminator. Jika pada kesehatan manusia ada Puskesmas Keliling, ia berharap ada Puskeswan Keliling yang bisa menjangkau daerah-daerah pantai, gunung, dan daerah terpencil lainnya.
Heru mengaku, awalnya juga tidak terlalu mampu dan tidak terlalu pandai dalam teknik bedah caesar pada sapi. Tetapi karena kebiasaan menangani di lapangan dan terus mencoba akhirnya terbiasa menangani sapi mengalami yang kesulitan melahirkan. Sejak 1994, Heru sudah melakukan operasi caesar sekitar 400 kali dan memberikan pelatihan bedah caesar di berbagai tempat.
Bimtek ini, menurutnya, semacam training of trainer (TOT) agar nantinya peserta Bimtek bisa mengajarkan kepada yang lain. “Ilmu ini tidak bisa dibaca. Kalau dibaca saja tidak ada yang tahu, harus dilakukan, harus praktek. Saya bertekad semua dokter-dokter hewan di daerah harus mampu mengatasi hal ini serta harus ada regenerasi di setiap daerah,” pungkasnya.