Solusi Kekeringan dengan Teknologi Penyadap Air Akuifer

Penyediaan air minum di Indonesia sudah tidak bisa dikelola secara bussiness as usual. Mengambil air sungai, mengolah dan mendistribusikan ke masyarakat. Dengan kondisi air sungai yang makin terdegradasi, biaya operasional menjadi lebih mahal. Pada gilirannya biaya ini akan selalu dibebankan ke konsumen. Sementara itu tuntutan masyarakat akan peningkatan pelayanan makin besar. Oleh karena itu perlu adanya inovasi teknologi.

Hal itu disampaikan Sutopo Purwo Nugroho, Peneliti Utama Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah di BPPT & Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB untuk sebuah media massa nasional di Jakarta.

Lebih lanjut ia menulis bahwa Salah satu teknologi yang perlu dikembangkan adalah natural treatment plant (NTP), yakni menyadap air langsung dari akuifer di dalam tanah dan mendistribusikan ke hilir.

Lapisan akuifer di daerah pegunungan digali atau dicoblos dengan pipa-pipa dan dibuat terowongan bawah tanah. Pada terowongan tersebut disediakan lubang-lubang untuk masuknya air tanah. Ada pula pengambilan air dilakukan seperti sumur biasa seperti lazim dijumpai di Indonesia.

Namun pada dasar umum dipasang pipa-pipa horisontal yang menyebar mengelilingi sumur sampai sepanjang 60 meter sehingga kapasitas sumur menjadi sangat besar. Dari sadapan-sadapan air tersebut kemudian dimasukkan ke reservoar untuk didistribusikan  ke kota atau daerah yang berada di bagian hilir dengan memanfaatkan gaya gravitasi.

Konsep teknologi NTP ini banyak diterapkan di Jerman dan sudah berlangsung sangat lama. Sebagian besar negara bagian Jerman tidak memiliki instalasi penjernihan air. Sekitar 80% penyediaan air minum dipasok dari air tanah dan mata air yang disadap dengan teknologi NTP, sedangkan sisanya memanfaatkan air permukaan.

Sistem penyediaan air minum untuk Kota Munich layak untuk dijadikan model. Debit NTP yang ada mampu mengalirkan 6,5 meter kubik per detik untuk mencukupi kebutuhan 1,5 juta jiwa dan industri. Jika diperlukan kapasitasnya dapat ditingkatkan menjadi 3–4 kali lipat.

Daerah tangkapan air (DTA) yang selalu diawasi seluas 6.000 ha dimana sebagian milik pemerintah dan sebagian milik penduduk yang umumnya peternak. Untuk mencegah pencemaran, dibuat kebijakan cukup ketat bagi petani yang berada di DTA yakni melarang menggunakan pupuk kimia dan pestisida. Sebagai kompensasi petani disubsidi 250 euro per hektar dan petani diperbolehkan mengambil pupuk kompos yang diproduksi oleh pemerintah daerah.

Keuntungan yang diperoleh sangat besar. Tidak dibutuhkan bahan kimia untuk mengolah air minum. Berarti tiap tahun dapat dihemat jutaan euro. Tidak diperlukan pompa distribusi karena letak reservoar berada di pegunungan. Kualitas air yang dihasilkan berkelas natural mineral water. Selain itu kuantitas dan kontinuitas pelayanan tercukupi sehingga seluruh penduduk memperoleh pelayanan air minum dengan adil dan merata. Keuntungan lain DTA terkonservasi.

Lantas, bagaimana kita? Indonesia mempunyai 127 buah gunungapi aktif atau sekitar 13% dari gunungapi aktif di dunia. Selain itu juga ratusan gunungapi yang tidak aktif. Seluruh gunungapi aktif tersebut berada dalam jalur tektonik yang memanjang mulai dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kep. Banda, Halmahera dan Kep. Sangir Talaud yang menempati seperenam dari luas daratan Indonesia.

Selain itu topografi pegunungan dan perbukitan banyak tersebar di berbagai daerah. Artinya, potensi gunung yang hakekatnya adalah menara air merupakan potensi alam yang luar biasa. Sayang jika konsep teknologi pencoblosan akuifer diabaikan begitu saja dalam pembangunan air bersih nasional. Minimal untuk kabupaten dan kota yang daerahnya berkembang di sekitar pegunungan.

Tidak aneh jika para pakar Jerman, diantaranya Prof.Dr. Cembrowiez dari Universitas Karlsruhe mengatakan, ”Bagi Pulau Jawa yang memiliki banyak daerah gunungapi dan pegunungan dengan curah hujan yang tinggi, seharusnya tidak perlu mengalami kesulitan air. Justru fenomena aneh yang ada. Air yang begitu jernih keluar dari mata air dengan melimpah, kemudian mengalir  ke sungai dan dicemari oleh limbah pertanian, domestik, industri, sampah hingga berwarna coklat dan berbau. Lalu diambil untuk air baku, diolah, didistribusikan dan dikonsumsi oleh masyarakat. Mengapa tidak diambil di mata air saja dengan disadap lalu didistribusikan ke bawah?”. Jika orang Jerman saja berpikiran seperti itu, mengapa kita tidak?

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author