LIPI Sosialisasikan Hasil Survei Ahli untuk Penguatan Demokrasi

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menggelar sosialisasi hasil survei “Pemetaan Kondisi Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya dan Pertahanan-Keamanan Menjelang Pemilu Serentak 2019: dalam Rangka Penguatan Demokrasi” di Jakarta, Selasa (7/8/2018). Survei ahli yang dilaksanakan pada April-Juli 2018 merupakan bagian dari Program Prioritas Nasional (PN) tahun 2018.

Tim Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI melaksanakan survei ahli di 11 provinsi di Indonesia dengan responden sebanyak 145 orang yang terdiri dari ahli politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam. Survei ini menggunakan teknik non-probability sampling yakni dengan menerapkan teknik purposive sampling, dimana sampel sumber data (ahli) dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria tertentu. Dengan teknik tersebut penelitian ini tidak dimaksudkan untuk melakukan sebuah inferensi (generalisasi).

Esty Ekawati, Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI mengawali pemaparan hasil survei dengan pemetaan kondisi, problem dan kinerja institusi di bidang politik. Kondisi kebebasan sipil di Indonesia, khususnya dilihat dari aspek kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berkeyakinan/beribadah telah dinilai baik oleh ahli. Namun, pada aspek bebas dari diskriminasi, 46% responden ahli menilai masih buruk.

“Demikian juga dengan pemenuhan hak politik warga negara terkait hak memilih dan dipilih, mayoritas ahli menilai sudah berjalan baik. Namun, 56% responden ahli menilai partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan masih buruk/sangat buruk,” paparnya.

Ada beberapa problem yang berpotensi muncul pada Pemilu Serentak 2019, antara lain politik uang (89%), sengketa hasil pemilu (76,6%), ketidaknetralan birokrasi (66,2%), tidak menggunakan hak suara (53,1%), intimidasi dalam pemilu (46,2%), dan penggunaan kekerasan dalam pemilu (32,4%).

Sementara, problem yang berpotensi menghambat penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019, diantaranya politisasi SARA dan identitas, konflik horizontal antar pendukung calon, gangguan keamanan, kekurangsiapan penyelenggara pemilu dan lainnya.

Untuk pemetaan kondisi dan problem di bidang ekonomi, Esty memaparkan 65% ahli menyatakan bahwa akses masyarakat terhadap kebutuhan dasar saat ini sudah baik. Terkait tingkat daya beli masyarakat, 83,45% ahli menyatakan ketersediaan barang telah baik/sangat baik dan 57,93% ahli menyatakan inflasi saat ini baik/sangat baik.

“Di sisi lain, 55,17% ahli menilai tingkat pendapatan masyarakat masih buruk/sangat buruk, dan 53,80% ahli menilai disparitas harga antar wilayah masih buruk,” lanjutnya.

Penilaian ahli terhadap kinerja pemerintah di bidang pembangunan infrastruktur terbilang positif, terutama pembangunan bandara dan pelabuhan. Namun, 51% ahli memberi penilaian buruk pada pembangunan infrastruktur air bersih.

Problem terkait kinerja pemerintah di bidang industri diantaranya penyerapan dan kapasitas tenaga kerja dalam bidang industri, 74% ahli menyatakan buruk/sangat buruk. Sementara untuk kegiatan ekonomi luar negeri termasuk ekspor, impor dan utang luar negeri, lebih dari 50% ahli menilai masih buruk.

Beberapa kondisi ekonomi yang dianggap berpotensi menghambat Pemilu Serentak antara lain krisis ekonomi/kondisi ekonomi yang memburuk, inflasi, masyarakat apatis, daya beli masyarakat rendah, politik uang, isu TKA dan lainnya.

Esty menerangkan, untuk penilaian ahli terhadap kondisi kesetaraan sosial budaya di masyarakat terbagi menjadi dua kategori nilai. Kondisi kesetaraan yang telah dinyatakan baik, diantaranya kesetaraan di bidang pendidikan (60,69%), di bidang kesehatan (60,69%) dan di bidang politik (60,69%). Namun, kesetaraan di bidang hukum dan ekonomi masih problematik karena hanya sekitar 35% ahli yang menilai telah baik.

Terkait kondisi toleransi di masyarakat saat ini, 62,8% ahli menilainya buruk/sangat buruk karena banyaknya kasus politisasi SARA, stigmatisasi, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, konflik sosial dan lainnya.

Tindakan persekusi yang belakangan ini marak terjadi, lanjutnya, disebabkan beberapa faktor yaitu penyebaran berita hoaks (92,4%), penyebaran ujaran kebencian (90,4%), radikalisme (84,2%), kesenjangan sosial ekonomi (75,2%), perasaan terancam oleh orang/kelompok lain (71,1%), relijiusitas (67,6%) dan ketidakpercayaan antar kelompok suku/agama/ras (67,6%).

Problem sosial budaya yang dianggap oleh ahli berpotensi menghambat Pemilu Serentak 2019 adalah politisasi SARA dan identitas, intoleransi, radikalisme, rasa saling curiga, berita hoaks dan lainnya.

Sementara untuk kondisi pertahanan di Indonesia, secara umum 64,1% ahli menilai sudah baik dan efektif dalam menanggulangi ancaman. Hanya saja masih ada beberapa ancaman, baik militer maupun non militer, yang dinilai para ahli memiliki potensi tinggi untuk muncul.

“Ancaman tertinggi yakni kejahatan transnasional (88%), terorisme (79%), dan penyebaran ideologi non-Pancasila (70%). Sedangkan potensi munculnya ancaman seperti separatis bersenjata, sengketa perbatasan dan perang memiliki nilai di bawah 50%,” papar Esty.

Hal yang dianggap oleh ahli sebagai aspek paling penting untuk memenuhi kebutuhan pertahanan negara saat ini adalah kualitas personil, alutsista, dan hubungan harmonis antara TNI-Polri.

“Kondisi keamanan yang berpotensi mengganggu jalannya Pemilu Serentak 2019 menurut ahli adalah konflik sosial, isu SARA, keberpihakan aparat keamanan, terorisme dan lainnya,” pungkasnya.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author