Jakarta, Technology-Indonesia.com – Kehadiran media baru (new media), khususnya media sosial di ruang publik memungkinkan setiap individu menjadi subyek sekaligus obyek dalam membuat dan menyebarkan berita. Informasi yang muncul tidak sekedar menjadi medium oleh media, melainkan juga berperan sebagai faktor pengubah. Hal yang sangat kentara adalah mediatisasi agama di ruang publik lewat kehadiran media sosial.
Deputi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tri Nuke Pudjiastuti mengatakan mediatisasi agama memungkinkan tumbuhnya pengetahuan-pengetahuan baru yang bisa diakses untuk menciptakan demokratisasi oleh publik Indonesia di tengah hegemonisasi ormas-ormas keagamaan.
“Namun, di sisi lain, kemunculan otoritas-otoritas keagamaan melalui mediatisasi ini menciptakan distrupsi yakni kemunculan perubahan-perubahan yang mengubah tatanan lama dengan pembaruan di berbagai bidang,” ujar Tri Nuke Pudjiastuti dalam keterangan tertulis acara Seminar Nasional “Mediatisasi Agama di Ruang Publik: Peluang atau Ancaman?” di Jakarta, Senin (26/11/2018).
Ironisnya, pembaruan dalam konteks ini memiliki daya destruktif yang sebelumnya sulit diantisipasi. “Mulai dari kemunculan hoax; algoritma yang memperkuat enclave identitas, ideologi, dan agama; politik kebencian melalui pelintiran, serta metode baru perekrutan terorisme di media sosial,” jelasnya.
Tri Nuke menjelaskan, terkait dengan mediatisasi agama, Stig Hjavard membaginya ke dalam tiga kategori. Pertama, media menjadi sumber informasi utama mengenai isu-isu keagamaan dan menjadi platform untuk mengekspresikan dan kemudian melakukan proses sirkulasi keyakinan-keyakinan individual.
Kedua, informasi sekaligus ekspresi pengalaman keagamaan dibentuk sesuai kehendak genre keinginan media-media popular. Media juga mengambil alih fungsi-fungsi sosial dan kultural yang sebelumnya terinstitusionalisasikan melalui agama-agama.
“Media lalu menyediakan ruang bimbingan spiritual, orientasi moral, dan perasaan kepemilikan dan kebersamaan komunitas,” terangnya.
Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Sri Sunarti Purwaningsih mengatakan kegiatan seminar nasional ini akan melihat kembali kontribusi agama yang termediatisasikan di ruang publik dengan mengajukan tiga pertanyaan yang saling terkait.
“Tiga hal yang akan menjadi pemantik diskusi mencakup sejauh mana peran agama yang termediatisasikan dalam platform digital, baik media sosial maupun situs online, bagaimana tanggapan institusi keagamaan dalam merespons hal tersebut, serta apa yang mungkin bisa dilakukan dalam mengantisipasi distrupsi tersebut,” jelasnya.
Menurut Sri Sunarti, acara seminar ini merupakan kegiatan kedeputian IPSK terkait fenomena “sumbu pendek” agar orang tidak mudah langsung percaya pada suatu berita, terutama berita yang ada kecenderungan untuk memecah belah. “Kita harus lebih bijak dan cerdas mensikapi berita-berita tersebut,” ungkapnya.
Kajian ini dilaksanakan LIPI di 9 provinsi yaitu Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Utara, Banten, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, Aceh dan DKI Jakarta. Hasil kajian ini, ungkap Sri Sunarti, hasilnya akan dikampanyekan hasilnya di masing-masing provinsi.
Hadir sebagai pembicara kunci adalah Leonard C. Epafras dari Indonesian Consortium for Religious Studies Universitas Gadjah Mada. Sedangkan diskusi panel diisi oleh Ismail Fahmi (pendiri PT Media Kernels Indonesia), Dedik Priyanto (redaktur pelaksana Islami.co), serta Wahyudi Akmaliah (peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI).
“Diskusi ini akan menjadi wadah bagi akademisi dan praktisi untuk menjawab fenomena sosial mediatisasi agama,” tutupnya.