Bandung, Technology-Indonesia.com – Pemerintah Indonesia pada awal 2018 menggulirkan Program Citarum Harum sebagai langkah baru pemulihan Sungai Citarum yang mengalami pencemaran berat. Sungai sepanjang 297 kilometer yang melintasi 12 kabupaten/kota dan 133 kecamatan ini menjadi urat nadi kehidupan warga Jawa Barat.
Pemerintah menargetkan sungai Citarum bisa menjadi sumber air minum bagi setidaknya 28 juta orang yang bermukim di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Citarum. Untuk itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) lewat Loka Penelitian Teknologi Bersih (LPTB) menawarkan solusi untuk membantu pemulihan Citarum.
Kepala LPTB LIPI, Sri Priatni mengatakan pencemar terbesar Citarum berasal dari limbah rumah tangga yang mempunyai andil antara 60-70% dari beban pencemar yang ada. “Limbah dari WC yang tidak terolah dan sampah rumah tangga diperburuk dengan tambahan limbah kotoran ternak yang jumlahnya ribuan di sekitar titik nol Citarum,” ujar Sri Priatni di Bandung, Jawa Barat pada Senin (25/3/2019).
Pencemar lainnya adalah limbah sisa industri yang sebagian besar adalah jenis limbah berbahaya yang sulit diuraikan secara alami. Sri menjelaskan, penanganan Citarum di daerah hulu terutama di kawasan Bandung Raya menjadi titik perhatian utama LIPI. Sebab, ada 8 anak sungai yang sebagian besar mengalir melewati permukiman padat di Bandung Raya dan memegang porsi 5% dari keseluruhan polutan domestik Citarum.
Mengenai limbah yang berasal dari WC warga, LPTB LIPI telah mengembangkan teknologi toilet pengompos yang sesuai untuk diterapkan di lingkungan yang sulit air bersih dan kekurangan sarana sanitasi. “Toilet ini bisa menggantikan keberadaan WC umum sepanjang aliran anak sungai Citarum sehingga polusi kotoran manusia bisa dikurangi dan kualitas sanitasi masyarakat bisa meningkat. Komposnya bisa dipergunakan tanaman,” ungkap Sri
Sementara untuk limbah kotoran ternak serta industri pangan seperti tahu dan tempe, peneliti LPTB LIPI Neni Sintawardani mengungkapkan LIPI berhasil menerapkan teknologi pengolahan limbah cair tahu secara anaerobik dengan teknik multi-tahap di sentra industri tahu di Giriharja, Sumedang.
Proses anaerobik, lanjutnya, hemat energi dan menghasilkan energi berupa biogas yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan memasak. Pengelolaannya juga sederhana bisa dilakukan oleh masyarakat.
“Limbah yang dihasilkan menjadi layak buang ke sungai dan biogas yang dihasilkannya telah digunakan oleh 88 rumah tangga di sekitarnya. Teknologi ini juga bisa diaplikasikan untuk penanganan kotoran hewan,” jelas Neni.
Untuk penanganan limbah industri tekstil yang menjadi penyebab turunnya kualitas air sungai Citarum, LIPI telah mengembangkan satu metoda yang lebih mudah dan cepat untuk memonitor zat – zat yang terkandung pada zat pewarna tekstil.
“Metode ini menekan biaya monitoring dan hasilnya sesuai standar nasional dan internasional. Ada 8 peneliti monitoring yang mengembangkan metode pemantauan berbasis Green Analytical Chemistry (GAC). Termasuk di dalamnya prosedur teknis analisis residu pestisida, polutan logam berat serta sensor kimia,” ujar peneliti LPTB LIPI,Willy Cahya Nugraha.
Sedangkan untuk pengurangan limbah plastik, LIPI mengembangkan bio-plastik sebagai alternatif untuk menggantikan plastik biasa. Bio-plastik berbasis pati singkong mudah diurai mikroba alami dengan cepat sehingga berpeluang menjadi solusi limbah plastik.
“Indonesia merupakan negara penghasil singkong nomor tiga di dunia. Dalam pati singkong terdapat kandungan yang mirip dengan polimer plastik. Karena itu, bio-plastik sangat potensial dikembangkan di Indonesia,” ujar peneliti LPTB LIPI, Hanif Dawam Abdullah.
Pengembangan bio-plastik dari pati singkong ini memberi nilai tambah karena saat panen raya harga singkong anjlok. Ke depan, Dawam berharap bio-plastik yang dikembangkan oleh LIPI bisa mengganti seluruh plastik dalam berbagai varian, bukan hanya kantong plastik.