Memasuki akhir April 2015, pakar biologi molekuler Cina Guangzhou mengejutkan masyarakat ilmiah internasional. Majalah Discovery melaporkan, tim riset Universitas Sun Yat-sen di Guangzhou telah berhasil mengedit genom embrio manusia. Ini rekayasa genetik pertama pada embrio manusia.
Hasil riset tersebut telah diterbitkan dalam jurnal Protein & Cell dan Nature terbaru. Laporan itu tentu saja menghebohkan publik ilmiah karena adanya masalah etik. Secara etis, upaya mengubah genom manusia meski dengan dalis riset masih dipersoalkan.
Dalam studi tersebut, peneliti Cina telah berusaha mengganti gen yang ditengarai menyebabkan penyakit kelainan darah β-thalassemia. Mereka menggunakan teknik editing gen yang disebut CRISPR / Cas9 pada sel tunggal embrio manusia. Teknik ini memungkinkan peneliti dapat memotong dan memodifilkasi susunan DNA pada lokasi yang diinginkan.
Upaya riset ‘berani’ dinilai tidak terlalu sukses. Nature melaporkan bahwa penggantian gen bermasalah dengan gen normal hanya berhasil pada sebagian kecil sampel. Dari 86 embrio yang dicoba, hanya sebagian kecil sukses. Teknik editing CRISPR / Cas9 justru berpotensi memicu adanya mutasi baru yang tidak diinginkan terjadi dalam genom embrio manusia.
Adanya modifikasi yang berpotensi memicu mutasi gen adalah alasan penting, mengapa modifikasi genom manusia masih diperdebatkan kebolhannya. Salah satu kekhawatiran terbesar dari langkah mengedit embrio manusia adalah bahwa setiap perubahan yang dibuat dapat diwariskan melalui mekanisme yang tidak dikenali sepenuhnya. Lebih mengerikan lagi, jika mutasi yang tidak dikehendaki itu justru tidak dapat diramalkan, apalagi dikendalikan.
Untuk alasan itulah, sekitar 170 aliansi lembaga riset, perusahaan medis, akademisi dan praktisi peneliti dan kelompok pasien kemudian menyerukan moratorium riset editing genom pada embrio manusia. “Sebagai karya riset, teknik CRISPR / Cas9 pada genom embrio manusia mungkin saja bermanfaat. Tetapi, upaya nekad ini menjadi peringatan yang berbahaya,’’ kata George Daley, seorang ahli biologi sel dari Harvard Medical School di Boston.