Kelesuan perekonomian global dan anjloknya harga minyak dunia memberi pukulan berat bagi industri minyak dan gas (migas) dalam negeri.
Untuk mempertahankan keberlangsungkan industri migas dalam negeri serta memberikan kegairahan investasi, Indonesia Petroleum Association (IPA) pada Jumat (15/4/2016) dalam konferensi persnya di Jakarta memberikan beberapa usulan pada pemerintah.
Pertama, mengadakan negosiasi kembali tentang bagi hasil (split) antara kontraktor dengan pihak pemerintah. Apabila harga minyak anjlok pada titik terendah, maka bagian hasil kontraktor lebih besar dari kontrak yang ada. Kontrak sebelumnya mengatur bagi hasil migas 60 persen untuk pemerintah dan 40 persen kontraktor. Split bagi hasil ini langsung dibagi dalam bentuk produk mentah migas yang keluar dari sumur migas sebelum dikurangi seluruh biaya cost recovery.
Kedua, peninjauan kembali pemberlakuan berbagai pajak pada sektor eksplorasi, seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) yang telah dihapuskan oleh Kementerian Keuangan. Ketiga, pemerintah harus memberikan subsidi silang dari sumur produksi kepada sumur eksplorasi dalam satu badan kontraktor migas (KPS/PSC).
Keempat, pemerintah harus segera memberikan persetujuan perijinan, baik itu yang terkait dalam eksplorasi maupun produksi, jangan sampai menunggu terlalu lama, seperti kejadian kasus pada Blok Masela. Kelima, pemerintah harus mempertimbangkan dengan seksama dalam melakukan penyetopan eksplorasi ketika harga migas sedang rendah.
Direktur IPA, Tenny Wibowo mengatakan pemerintah harus bisa merespon usulan IPA yang merupakan suara perusahaan hulu migas dalam negeri ini. Pada waktu harga minyak sedang jatuh seperti sekarang ini diperlukan regulasi yang dapat memberikan oksigen baru bagi pelaku usaha hulu migas.
“Kita harus terus melakukan eksplorasi terus menerus. Hal tersebut akan menjadi investasi bagi perusahaan migas, jika harga migas normal tentunya cadangan migas eksplorasi sudah siap dilakukan produksi tentunya,” terang Tenny.
Tenny menjelaskan turunnya harga migas memberikan implikasi yang besar terhadap penerimaan negara. Hal ini terlihat pada penerimaan sektor migas pada 2015 sebesar Rp 78,4 triliyun, sedangkan pada 2014 penerimaannya Rp 81,4 triliyun. Sementara realisasi penerimaan Pajak Penghasilan (PPH) turun 43 persen dari tahun sebelumnya menjadi Rp 49,7 triliyun. Realisasi investasi sektor migas hanya USD 15,9 miliar, sedangkan pemerintah menargetkan USD 23,7 miliar, tegas Tenny.
Menurut Tenny, pukulan berat juga dirasaka oleh daerah penghasil migas. Kutai Kertanegara misalnya, Dana Bagi Hasil (DBH) migas pada 2014 sebesar Rp 3,2 triliyun, sedangkan tahun 2015 hanya Rp 700 miliar. Demikian pula yang dialami Kabupaten Kampar, Riau, DBH tahun 2014 Rp 1,2 triliyun, pada 2015 ini hanya menerima Rp 400 miliar.
“Hal tersebut berimplikasi pada kegiatan perekonomian daerah yang meredup, seperti Kalimantan Timur perekonomiannya minus 0,9 persen pada 2015, padahal pada 2011 perekonomianya masih tumbuh 6,5 persen,” pungkas Tenny. Albarsah