Hampir separuh hidupnya dihabiskan mengabdi pada negara. Kendati tampil sebagai sosok wanita yang lembut, Nurhayati juga ternyata memiliki semangat yang kuat. Selepas pendidikan Akademi Meteorologi dan Geofisika (-sekarang STMKG) sekitar 1980 di jurusan Meteorologi, Nurhayati harus menjalani ikatan dinas di BMKG hampir selama 5 tahun.
Hingga akhirnya memperoleh kesempatan untuk lanjutkan ke tingkat sarjana, setelah menyelesaikan ikatan dinas. Program beasiswa di Universitas Indonesia untuk jurusan Fisika Meteorologi. Jurusan yang terbilang sulit dan sedikit jumlah mahasiswanya. Untuk seluruh angkatan saat itu hanya sekitar 30 orang.
Tawaran melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi tidak ditampiknya. Nurhayati mengambil S2 jurusan air pollution bidang lingkungan (enviromental science) diMonash University di Australia dan lulus pada 1994. Karirnya pun semakin melesat, kendati harus berbagi waktu menjalani peran sebagai ibu rumah tangg
Menurut Nurhayati, data pengamatan stasiun GAW Kota Tabang Padang konsentrasi CO2 yang teramati di atas Indonesia ternyata lebih rendah dibanding konsentrasi rata-rata total karbon di atmosfer dunia yang besarnya 382 ppm. “Kalau lebih rendah dari rata-rata, bagaimana bisa menjadi pengemisi ketiga terbesar,” katanya.
Adapun laporan World Bank yang mendudukkan Indonesia pada urutan ketiga teratas setelah AS dan Cina sebagai emitter Carbon tertinggi dunia, ternyata hanya berdasarkan data dari sumber kebakaran hutan pada tahun 1997 dimana Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan hebat bersamaan dengan periode El Nino kuat pada tahun tersebut. Observasi konsentrasi CO2 di stasiun Koto Tabang yang merupakan standar resmi World Meteorological Organization, menurut dia, selalu menunjukkan kadar konsentrasi CO2 lebih rendah dari stasiun referensi dunia di Mauna Loa Hawaii, dan ini berhasil mematahkan tuduhan dunia berdasarkan laporan tersebut. Kala itu Nurhayati diserahi tanggung jawab sebagai PIC Continuous GreenhouseGasesMeasurement (kontak WMO untuk GAW Indonesia (2005– 2009). Sedangkan jabatan struktural sebagai Kepala Bidang Analisis Klimatologi dan Mutu Udara “Sample yang dikirim ke NOAA AS, sejak 2004 hingga saat ini trennya tidak pernah melebihi ambang batas global,” ujarnya.
Pada 2009, Nurhayati diangkat sebagai Kepala Pusat Iklim, Iklim Agroklimat dan Lautan BMKG. Bidang Klimatologi baru dibentuk di instansi ini. Kesibukan yang kian padat karena juga bertugas sebagai wakil BMKG di beberapa pertemuan Internasional terkait perubahan iklim. “Saya peroleh dukungan dari keluarga kendati budaya mungkin masih menjadi hambatan wanita untuk berkarir,”akunya. Wanita kelahiran Bogor, 20 November 1958 ini pun kerap turun ke berbagai daerah memantau Sekolah Lapang Iklim yang digagas Kedeputian Klimatologi BMKG bekerjasama dengan Kementerian Pertanian dan Pemerintah Daerah yang merupakanPropinsi Sentra Pangan Nasional.
Pada 2015, BMKG mengadopsi konsep WMO (Badan Meteorologi Dunia) Impact Based Forcast yaitu prakiraan berbasis dampakserta Risk Based Warning yaitu sistem peringakatan berbasis resiko. “Prakiraan cuaca dan iklim tidak hanya diinfokan tapi juga diberikan rekomendasi. Contoh potensi angin kencang berdampak palayaran Merak ke Bankahuni akan terhambat, misal,” ujarnya.
Informasi dari BMKG format yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, misalnya untuk penanganan kebencanaan, BNPB menghendaki konsep color coding untuk semua peringatan dini cuaca dan iklim ekstrim misalnya banjir, hujan lebat, angin kencang, beliung, kekeringan, kebakaranhutan yang disebar sampai tingkat kabupaten. “ Ditentukan mulai dari prakiraan cuaca harian, mingguan bulanan sampai musiman,” papar Nurhayati.
Pada 2016, Nurhayati kembali ke bidang Meteorologi menjabat sebagai Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG, bidang yang sebelumnya ditekuni. “Tantangan bukan bidangnya lagi, tapi bagaimana mendorong pegawai-pegawai agar memiliki passion di bidang ini. Dibentuk task force untuk menangani tugas-tugas teknis dengan konsep impact based forcast,” katanya.
Kemampuan tim BMKG di daerah juga menjadi perhatian Nurhayati dan diharapkan mampu setara dengan tim BMKG Pusat. “Diperlukan bimbingan teknis bagi 183 stasiun BMKG yang tersebar di 34 Provinsi seluruh Indonesia melalui koordinator provinsi,” ujarmya.