Cibinong, Technology-Indonesia.com – Peneliti Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berhasil menemukan spesies baru katak dan burung. Penemuan ini memberi angin segar di tengah krisis keanekaragaman hayati. Kebakaran hutan dan lahan, pertumbuhan penduduk, serta perdagangan satwa liar telah menjadi ancaman serius bagi keberadaan satwa endemik Indonesia yang belum tereksplorasi.
Cahyo Rahmadi, Kepala Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI mengatakan bahwa Forum Ilmuwan PBB, Intergovernmental Science Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) dalam laporan terbarunya merilis bahwa secara keseluruhan ada sekitar 1 juta spesies hewan dan tumbuhan yang terancam kepunahan dalam beberapa dekade ke depan.
“Kepunahan spesies tersebut antara lain karena eksploitasi langsung, perubahan fungsi lahan, perubahan iklim, polusi, dan spesies invasif,” terang Cahyo saat media visit di Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, Jawa Barat pada Selasa (8/10/2019).
Penemuan spesies baru, lanjutnya, tak lepas dari kegiatan eksplorasi dari Sabang sampai Merauke. Pada tahun 2019 hingga bulan Oktober telah ditemukan 33 spesies baru. Sementara pada 2018 ditemukan 21 spesies baru dan pada 2017 ditemukan 23 spesies.
Penemuan burung jenis baru Myzomela prawiradilagae berkontribusi menambah daftar panjang temuan satwa endemik burung di Indonesia. Peneliti bidang ornitologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Mohammad Irham mengatakan secara fisik, Myzomela prawiradilagae memiliki kemiripan warna dengan Myzomela dammermani dari Sumba dan Myzomela vulnerata dari Timor.
Irham menjelaskan, penamaan burung jenis baru dari pulau Alor ini merupakan bentuk penghargaan kepada peneliti senior bidang ornitologi LIPI, Dewi Prawiradilaga atas kontribusi besarnya untuk pengembangan penelitian ekologi dan konservasi burung Indonesia.
Meskipun burung pemakan madu alias nektorivora tersebut secara filogenetik berkerabat dekat dengan Myzomela kuehni dari pulau Wetar, Maluku, namun dilihat dari karakter morfologi, bioakustik dan ekologi memiliki perbedaan siginfikan. Penemuan jenis baru ini telah dipublikasikan di Journal of Ornithology pada 24 September 2019.
Salah burung, spesies lain yang ditemukan adalah katak tanduk Kalimantan (Megophrys kalimantanensis). Jenis kata ini baru saja dideskripsikan oleh tim peneliti dari LIPI; Kyoto University, Jepang; Aichi University of Education, Jepang; Institut Teknologi Bandung; dan Universitas Negeri Semarang.
“Jenis baru ini dikoleksi dari ekspedisi yang dilakukan di pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, juga di Bario, Sarawak dan pegunungan Crocker di Sabah, Malaysia,” jelas peneliti bidang herpetologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Amir Hamidy. Penemuan jenis baru ini dipublikasikan di jurnal Zootaxa vol. 4679.
Morfologi katak tanduk Kalimantan ini sangat mirip dengan katak tanduk pinokio (Megophrys nasuta) yang tersebar luas mulai dari Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaya serta pulau-pulau kecil di sekitarnya. Jenis baru ini memiliki tanduk (dermal accessory) pada bagian moncong dan mata yang lebih pendek jika dibandingkan dengan katak tanduk pinokio.
Juga sepasang lipatan lateral tambahan pada sayap. Secara akustik, suara individu jantan dari jenis baru ini memiliki variasi yang lebih banyak dan lebih panjang jika dibandingkan dengan katak-tanduk pinokio. “Berdasarkan hasil analisis dari tiga metode pendekatan tersebut kami menyimpulkan bahwa jenis tersebut merupakan jenis baru dan kemudian diberi nama Megophrys kalimantanensis,” jelas Amir.
Peneliti LIPI juga berhasil menemukan tiga spesies baru kodok wayang dari hutan dataran tinggi Sumatera. Sigalegalephrynus gayoluesensis dari Gayo Leus, Aceh dan Sigalegalephrynus burnitelongensis dari gunung Burni Telong, Aceh yang ditemukan di daerah utara Sumatera, sedangkan Sigalegalephrynus harveyi berasal dari gunung Dempo, Sumatera Selatan. Genus Sigalegalephrynus memiliki lebih banyak spesies endemik dibandingkan genus kodok lainnya di Indonesia.
Hasil analisis filogenetik mengindikasikan terdapat perbedaan taksonomi antara kodok di dataran tinggi utara dan selatan. Hasil identifikasi karateristik morfologis, genetik dan akustik dari ketiga spesies baru tersebut berbeda dengan dua spesies genus Sigalegalephrynus sebelumnya yaitu Sigalegalephrynus mandailinguensis, dari gunung Sorikmarapi, Sumatera Utara dan Sigalegalephrynus minangkabauensis dari gunung Kunyit, Jambi. Penemuan jenis baru ini dipublikasikan di jurnal Zootaxa vol. 4679.