Jakarta, Technology-Indonesia.com – Sebagai acuan ilmiah pengelolaan dan pemanfaatan secara berkelanjutan spesies hiu di Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Oseanografi LIPI telah menyusun dokumen Non-Detriment Finding (NDF) hiu lanjaman (Carcharhinus falciformis). Dokumen ini merupakan dokumen NDF pertama untuk hiu yang dibuat oleh pemerintah Indonesia.
Hiu merupakan salah satu kelompok spesies paling terancam di dunia. Menurut daftar IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) setidaknya sekitar 31% hiu dunia terancam kepunahan. Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2015, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat eksploitasi hiu tertinggi di dunia dan menyumbang sekitar 13% dari produksi hiu global.
Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Dirhamsyah mengatakan perlindungan terhadap hiu telah menjadi salah satu agenda penting di tingkat global melalui mekanisme CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). CITES telah memasukkan 12 spesies hiu dalam Apendix II atau tidak segera terancam kepunahan tetapi mungkin terancam punah bila tidak dimasukkan ke dalam daftar perlindungan dan perdagangannya terus berlanjut. Dari 12 spesies tadi, sembilan diantaranya hidup di Indonesia termasuk hiu lanjaman.
“Dari data Statistik Perikanan tahun 2015, 60 persen total produksi hiu di Indonesia adalah kelompok hiu lanjaman seluruh famili Carcharhinidae dan 54 persen diantaranya merupakan hiu lanjaman jenis Carcharhinus falciformis,” jelas Dirhamsyah saat Peluncuran Dokumen NDF sebagai Basis Kebijakan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hiu Lanjaman di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta pada Senin (15/4/2019).
LIPI sebagai pemegang otoritas keilmuan CITES, jelas Dirhamsyah, merekomendasikan kuota tangkap sebesar 80 ribu untuk tahun 2019 dengan minimum ukuran panjang tubuh dua meter atau dengan berat minimum 50 kg.
“Artinya pemanfaatan hiu lanjaman dapat dilakukan dan tidak mengganggu populasinya di alam dengan syarat melakukan pembatasan jumlah tangkapan melalui sistem kuota dan mengatur ukuran hiu lanjaman yang boleh dimanfaatkan,” ujarnya.
Dirinya menjelaskan dokumen NDF merupakan analisis risiko pemanfaatan hiu yang terdaftar dalam Apendiks II CITES berdasarkan aspek biologi, perikanan, pemanfaatan, dan pengelolaan hiu lanjaman saat ini. Dokumen NDF juga merekomendasikan perbaikan pencatatan produksi dan pemanfaatan hiu lanjaman, perlindungan habitat penting seperti lokasi memijah, melahirkan, dan pengasuhan anakan serta penghentian praktik pengambilan sirip hiu dan membuang sisa tubuhnya, baik dalam keadaan hidup atau mati ke laut.
Sejak 2018, LIPI bekerjasama dengan USAID (United States Agency for International Development) lewat program USAID BIJAK telah mengembangkan metodologi penelitian dan protokol untuk menentukan tingkat pemanfaatan yang berkelanjutan terhadap spesies yang terancam.
“Diharapkan proses pembuatan dokumen NDF hiu lanjaman ini menjadi contoh bagi pengembangan dokumen NDF lainnya dan dapat meningkatkan perlindungan spesies hiu dan pari lainnya yang terancam punah,” ungkap Dirham.
Wakil Direktur USAID Kantor Lingkungan Hidup, Jason Seuc, mengungkapkan pihaknya bangga dapat bekerja sama dengan LIPI dalam menyelesaikan rekomendasi kuota perdagangan berbasis sains ini agar untuk memastikan keberlangsungan hidup populasi liar hiu lanjaman di Indonesia terjaga.
“Kolaborasi dengan LIPI merupakan contoh kemitraan kami yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan berbasis keilmuan di dunia. Hal ini akan memperkuat perlindungan satwa liar yang penting termasuk hiu,” terangnya.
Pihaknya berharap kebijakan NDF untuk hiu lanjaman dapat meningkatkan kesadaran dan upaya-upaya konservasi, mengurangi perdagangan ilegal satwa liar, dan memulihkan populasi spesies ini secara alami.