Borehole Disposal, Solusi Pengelolaan Limbah Radioaktif

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Indonesia banyak memanfaatkan sumber radioaktif yang dimiliki oleh industri maupun rumah sakit. Kegiatan pemanfaatan teknologi nuklir ini menghasilkan limbah radioaktif yang harus dikelola dengan baik sesuai peraturan yang berlaku agar aman dan selamat bagi manusia dan lingkungan.

Kepala Pusat Riset Teknologi Daur Bahan Bakar Nuklir dan Limbah Radioaktif (PRTDBBNLR) – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Syaiful Bakhri mengungkapkan hal tersebut saat membuka webinar tentang daur bahan bakar nuklir bertema “Borehole Disposal Limbah Radioaktif: Pengembangannya di Dunia dan Potensinya di Indonesia” pada Jum’at (14/04/2023).

“Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) sampai tahun 2023 ini mencatat ada sekitar 5089 buah sumber yang digunakan oleh industri medis serta 8455 buah sumber yang dimiliki oleh industri non medis,” kata Syaiful.

Menurutnya Indonesia perlu membangun Borehole Disposal (semacam poros sempit yang dibor masuk ke dalam tanah, baik secara vertikal maupun horizontal untuk pembuangan, red.) agar pengelolaan limbah dapat tertangani dengan baik dan tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat.

“Kita berupaya mendorong agar ke depannya Indonesia memiliki Borehole Disposal. Apalagi saat ini industri dan rumah sakit semakin berkembang yang tentunya akan semakin banyak sekali sumber bekas yang harus kita kelola sebaik mungkin,” ujar Syaiful.

Peneliti Ahli Utama BRIN, Sucipta memaparkan alasan perlunya membangun Borehole Disposal di Indonesia untuk pengelolaan limbah sumber radioaktif terbungkus bekas atau Disused Sealed Radiactive Source (DSRS).

“Sumber radioaktif terbungkus bekas atau DSRS adalah salah satu jenis limbah radioaktif yang banyak dihasilkan dari kegiatan pemanfaatan teknologi nuklir di Rumah Sakit dan industri,” ujarnya.

Penyimpanan sementara untuk DSRS, lanjutnya, banyak menjumpai kesulitan terutama berkaitan kondisi sumber seperti umur paruh yang panjang, radiasi gamma cukup tinggi serta sistem storage tidak established.

“Kalau kita menggunakan disposal model konvensional maka akan jadi mahal. Sedangkan kalau dikembalikan ke negara asalnya atau ke pabriknya akan merupakan suatu opsi yang kadang cukup sulit,” ungkap Sucipta.

“Jadi harus ada inovasi baru untuk menjawab semua kesulitan tersebut, yaitu perlu adanya disposal yang sustainable,” jelasnya.

“Secara ekonomi tidak mahal, dan juga bisa dengan skala nasional yang kecil saja tetapi bisa memenuhi persyaratan standar bagi pekerja, masyarakat, dan lingkungan. Selain itu juga bisa menahan atau menghindari terjadinya intrusi oleh pihak-pihak yang tidak diinginkan,” tambahnya.

Sucipta juga menyampaikan bahwa Borehole Disposal telah dikembangkan di beberapa negara di dunia diantaranya Australia, Brazil, Bulgaria, Malaysia, Norwegia, Afrika Selatan dan Amerika Serikat.

“Pada tahun 2020-2021 Indonesia telah melakukan studi untuk Borehole Disposal dalam hal geologi, geofisika, update data lingkungan, safety assessment, dan juga pembuatan SOP,” katanya.

Menurut Sucipta BRIN perlu melakukan strategi agar pembangunan Borehole Disposal di Indonesia dapat diterima oleh masyarakat.

“Kita bisa melakukan pendekatan berlapis, mulai dari pendekatan teknis, pendekatan sosial, pendekatan ekonomi dan lingkungan, sehingga masyarakat bisa menerimanya. Meyakinkan masyarakat bahwa merka akan selamat atau aman dari keberadaan Borehole di suatu tempat,” ujar Sucipta.

“Selain itu, masyarakat yang berada di sekitar lokasi dekat pelimbahan dapat diberikan kompensasi,” imbuhnya.

Prof. Syafrizal dari Intitut Teknologi Bandung (ITB) selaku penanggap dalam webinar ini mengatakan bahwa Indonesia perlu belajar dari negara-negara yang sudah mengembangkan Borehole Disposal.

“Kita bisa membuat komparasi, membuat matrik atau plus minus dari masing-masing metode. Tetapi implikasi terakhir kita harus melihat apakah sepadan dengan ongkosnya,”katanya.

“Untuk nuklir ini harusnya biaya berapapun tidak perlu dipikirkan. Dibuat seaman mungkin karena yang merasakan tidak kita sekarang, tetapi anak cucu kita, karena 30 tahun umur peluruhan yang perlu diperhatikan,” lanjutnya.

Penanggap lainnya Dr. Yudi Utomo Imardjoko dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menyampaikan bahwa kita harus memperhatikan material kontainer Borehole Disposal.

“Kontainer yang digunakan tidak boleh bocor, harus hati- hati. Apalagi nanti kalau dipakai untuk bahan bakar nuklir bekas, dimana harus disimpan minimal 10.000 tahun. Kita harus punya kontainer yang tahan 10.000 tahun,” tandasnya. (Sumber brin.go.id)

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author