Satu Waktu, Mengapa Tidak

zona_waktu_indonesia

Badan Informasi Geospasial mendukung penyatuan waktu di wilayah Republik Indonesia dalam satu waktu.  Namun dengan catatan, posisi Indonesia yang melintang dari barat ke timur serta membujur utara ke selatan sudah merupakan ketentuan alam yang tidak bisa berubah.

“Kami mendukung sepanjang penyatuan waktu itu memang untuk manfaat bersama yang lebih baik. Tetapi yang harus diingat bahwa Indonesia sudah ikut dalam ketentuan konvensi dunia yang menyebutkan setiap 15 derajat terdapat selisih waktu satu jam,” kata Kepala Badan Informasi Geospasial Asep Karsidi di ruang kerjanya, Jumat (16/3).

Menurut Asep wilayah Indonesia secara posisi ilmu Falak berada pada posisi 150 derajat sehingga berdasarkan ilmu tersebut Indonesia bisa membagi waktunya menjadi tiga bagian. Namun penetapan pembagian waktu ini adalah kewenenangan Presiden, sehingga jika dipandang perlu maka pemerintah bisa menentukan waktunya tidak berdasarkan pada kondisi yang sebenarnya.

“Secara riil, Indonesia berdasarkan posisi lintang dan bujur berada pada tiga waktu. Tapi kalau mau dijadikan satu waktu yaitu waktu bagian tengahnya saja, maka ilmu dasarnya tidak bisa dihilangkan. Keterlibatan BIG untuk perubahan waktu ini hanya jika waktunya dibagi menjadi dua waktu, karena harus menentukan wilayah mana saja yang termasuk ke dalam dua waktu. Sedang kalau menjadi satu waktu maka tidak ada pengaruhnya, karena semua wilayah Indonesia hanya berlaku satu waktu,” katanya.

Sementara Kepala Divisi Komunikasi Publik dan Promosi Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) Edib Muslim mengatakan Indonesia akan lebih diuntungkan dari sisi ekonomi jika hanya berlaku satu waktu.

“Kita ingin mencapai percepatan ekonomi, dan salah satu yang menjadi kendala adalah jam kerja yang tidak sama di wilayah Indonesia selama ini. Sehingga jika ada satu waktu nanti, maka etos kerja masyarakat Indonesia akan sama disemua daerah dan itu artinya pembangunan juga bisa dipacu dalam waktu bersamaan,” kata Edib.

Edib menyontohkan negara seperti Malaysia dan Singapura telah menetapkan satu waktu. Dan negara tersebut sudah merasakan dampak positif adanya satu waktu diantaranya, jam efektif bisnisnya menjadi sama. “Di GMT+8 semua negara Asia sudah melakukan kegiatan bisnisnya pada saat bersamaan. Bayangkan sementara negara lain sudah mulai beraktifitas di Indonesia telat beberapa jam. Kita harus mengejar ketertinggalan Indonesia dengan mempercepat pembangunan ekonominya,” katanya.

Dalam sejarah pembagian waktu, Indonesia sudah mengalami perubahan waktu. Dimulai tahun 1908 yang menetapkan Indonesia berada GMT+12, tahun 1918 Indonesia waktu Jateng, tahun 1924 terdapat empat waktu, 1932 menetapkan enam waktu, 1942 hanya ada satu waktu dan 1947 ada tiga waktu. Pada 1950 Indonesia kembali menetapkan enam waktu dan 1963 kembali ke tiga waktu. Perubahan waktu yang terakhir terjadi pada 1987.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

More From Author