TechnologyIndonesia.id – Invasive Alien/Exotic Species (IAS) atau Jenis Asing Invasif (JAI) dapat berupa tumbuhan, hewan, mikroorganisme, dan organisme lain. JAI bukan bagian dari ekosistem sehingga dapat menimbulkan kerusakan ekosistem dan lingkungan, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Decky Indrawan Junaedi mengatakan IAS juga berdampak negatif bagi keberadaan keanekaragaman hayati yaitu menyebabkan kepunahan spesies.
Decky menambahkan, IAS atau JAI merupakan isu global, dan di Indonesia sudah diiimplementasikan dengan disusunnya Strategi Nasional dan Arah Rencana Aksi dan Pengelolaan JAI di Indonesia pada 2015.
Menurutnya, berdasarkan dokumen nasional tersebut dukungan riset ekofisiologi dan analisis risiko dalam pengelolaan JAI mutlak diperlukan bagi pihak pengelola kawasan atau management authority. Untuk itu ia bersama tim melakukan kajian keberadaan JAI di beberapa kawasan konservasi in situ, ex situ, dan hutan produksi.
Berdasarkan hasil risetnya, dia mendeteksi 35 spesies tumbuhan eksotik di ekosistem hutan pegunungan di Kawasan Taman Nasional Gede-Pangrango (TNGP), Jawa Barat. Menurut Decky angka tersebut relatif lebih kecil jika dibandingkan jumlah spesies tumbuhan eksotik yang berhasil ditemukan di Kebun Raya Cibodas (KRC) yang berjumlah sekitar 500 spesies.
“Lokasi yang berdampingan antara kawasan konservasi in situ TNGP dan konservasi ex situ KRC ini menarik untuk dikaji melalui analisis risiko,” ungkap Decky dalam webinar Jamming Session #7 PREE yang bertema “Peran Riset Ekologi Dalam Mitigasi Dampak Jenis Invasif”, pada Senin (3/6/2024).
Seberapa besar risiko jenis eksotik tersebut yang kadang tersebar melalui binatang, angin, air, maupung pengunjung. Selain itu juga berpeluang menjadi spesies invasif yang masif, sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem,” imbuh Decky.
Dalam mendukung riset yang dilakukan Decky, Sunardi Ketua Kelompok Riset Ekologi Jenis Invasif PREE BRIN memaparkan hasil risetnya terkait upaya pengendalian IAS.
“Salah satu upaya pengendalian jenis invasif yaitu melalui eradikasi yaitu pemusnahan total bagian tumbuhan tersebut, pemanfaatan agen hayati, dan pemanfaatan jenis tumbuhan invasif tersebut. Contohnya kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium) spesies invasif yang menyebar secara masif, pada lahan 2675,75 hektare (ha) di Taman Nasional Kelimutu, Nusa Tenggara Timur,” ujarnya.
Dalam paparannya, dia menjelaskan pengendalian kirinyuh berhasil dilakukan melalui eradikasi secara fisik maupun penggunaan bahan kimia. Selain itu pemanfaatan agen hayati kirinyuh yaitu tikus besar (deke) Papagomys armandvilleidirasa cukup efektif untuk menginfeksi batang kirinyuh.
“Hal lain yang kami lakukan yaitu bioprospeksi atsiri kirinyuh dan metabolit aktif potensialnya yang dapat diarahkan untuk pemanfaatan ekonomi masyarakat,” pungkasnya. (Sumber brin.go.id)