Lebih dari delapan dekade telah berlalu sejak Alexander Fleming menemukan antibiotik penisilin dari jamur, berbagai terobosan telah terjadi dan pada akhirnya melahirkan industri antibiotik bernilai miliaran dolar. Kini, para peneliti mencari cara baru dengan semangat baru untuk memerangi berbagai penyakit infeksi.
Scientific American terbaru melaporkan, beberapa antibiotik baru yang ada, termasuk yang masih dalam pengembangan, terlalu sering mendatangkan masalah resistensi dan akhirnya memacu munculnya strain bakteri baru yang mematikan. “Kita perlu perubahan dari apa yang kita miliki saat ini,” kata Stephen Baker, kepala kimia obat untuk antibakteri di GlaxoSmithKline di Collegeville, Pennsylvania.
Baker termasuk salah satu ahli yang akan berbicara tentang beberapa alternatif baru antibiotik pada pertemuan tahunan American Society for Microbiology di New Orleans, Louisiana pada awal Juni 2015. Berikut adalah beberapa terapi yang ilmuwan mengeksplorasi.
Bakteri Predator
Bakteri umumnya menyebabkan infeksi. Tetapi, beberapa juga bisa melawan dengan memangsa sesama mikroba. Beberapa peneliti mulai menguji bakteri predator sebagai model hewan dan kultur sel.
Spesies yang paling terkenal, Bdellovibrio bacteriovorus, ditemukan di dalam tanah. Bakteri ini menyerang mangsanya dengan melekatkan dirinya antara membran sel dalam dan luar host (bakteri inang), kemudian mulai tumbuh dengan filamen tiruan. “Ini seperti orang yang pergi ke sebuah restoran, mengunci pintu dan makan sepuasnya, kemudian pergi,” kata Daniel Kadouri, seorang bakteriologi di Rutgers University di Newark, New Jersey. Bakteri inang akhirnya meledak dan melepaskan lebih B. bacteriovorus ke lingkungan.
Kadouri dan kawan-kawan juga mempelajari potensi terapi dengan bakteri predator Micavibrio aeruginosavorus. Timnya telah merekayasa bakteri usus Escherichia coli agar menghasilkan peptida yang mampu membunuh Pseudomonas aeruginosa, mikroba yang menyebabkan pneumonia.
Meski masih penelitian pendahuluan, proyek ini menarik perhatian. Itu bagian dari program The Patogen Predator yang diluncurkan US Defense Advanced Research Projects Agency dengan misi utama untuk mengobati tentara yang terinfeksi di medan perang. Sedikitnya US$ 16 juta disiapkan sebagai dana hibah penelitian untuk para peneliti yang berminat mengembangkan bakteri predator.
Peptida antimikroba
Tanaman, hewan dan jamur memiliki sistem kekebalan tubuh yang sangat berbeda, tapi semuanya mampu membuat ikatan peptida – komponen dasar penyusun protein– yang bisa menghancurkan bakteri. Peptida dari makhluk seperti amfibi dan reptil, yang biasa tahan terhadap infeksi, bisa diharapkan dapat menghasilkan konsep terapi baru.
Peptida dengan aktivitas antibakteri telah diisolasi dari katak, buaya dan ular kobra, antara lain, dan beberapa tampaknya efektif dalam kultur sel epitel dan pada penyembuhan luka pada tikus. Peptida ini dapat dimodifikasi untuk meningkatkan potensi mereka, dan beberapa yang dalam uji klinis. Satu, disebut pexiganan, berdasarkan peptida dari kulit katak, sekarang dalam fase III uji klinis untuk mengobati ulkus diabetik pada kaki.
Masalahnya, mensintesis molekul tersebut bisa jadi mahal. Inilah mungkin rintangan, lebih teoatnya tantangan bagi para ilmuwan untuk bisa mengatasi masalah keekonomian sebelum membawa konsep obat baru peptida ke pasar.
Fag
Dari semua alternatif untuk antibiotik, fag – virus yang menyerang bakteri – telah lama digunakan di klinik zaman dahulu. Para ilmuwan di Uni Soviet mulai mengembangkan terapi fag pada tahun 1920. Sampai kini, sejumlah ilmuwan di negara-negara bekas Soviet masih melanjutkan tradisi ini.
Fag memiliki beberapa keunggulan dibandingkan antibiotik. Berbeda dengan antibiotik yang bersifat multi strain bahkan multi jenis mikroba, Fag hanya menggunakan satu strain atau satu jenis bakteri saja dalam teknik pengobatannya. Maka, ketika sistem perawatan fag diterapkan hanya akan meninggalkan satu bakteri berbahaya (atau menguntungkan) tanpa menimbulkan efek cedera atau komplikasi. Dan karena fag belimpah ada di alam, peneliti memiliki fag pengganti ketika ada masalah terapi atau ketika bakteri berevolusi menimbulkan reaksi penolakan.
Mzia Kutateladze, yang mengepalai dewan ilmiah di Eliava Institute di Tblisi, Georgia, mengatakan bahwa resistensi antibiotik mendorong pasien di Eropa Barat kembali berpaling ke klinik fag yang masih populer di Eropa Timur. US National Institute of Allergy and Infectious Diseases di Bethesda, Maryland, sekarang telah mendaftar fag sebagai prioritas penelitian untuk mengatasi krisis antibiotik. Sebuah uji klinis dari pengobatan fag untuk infeksi terkait dengan luka bakar juga sedang ditata oleh konsorsium di Eropa ulai musim panas tahun ini.