Bogor, Technology-Indonesia.com – Kehadiran spesies asing (invasif alien species) serta hama dan penyakit (pests and diseases) dari luar negeri bisa mengancam sumber daya hayati asli Indonesia. Karena itu, perlu ada upaya pencegahan tidak hanya di pintu masuk seperti bandara dan pelabuhan (at border), tetapi pencegahan di negara asal (pre border).
Perkembangan penelitian di bidang biologi dan bioteknologi beberapa waktu belakangan ini terbilang cukup pesat di kawasan global. Hal tersebut selain menawarkan banyak peluang, namun juga menciptakan tantangan bagi peneliti dan dunia penelitian guna. Salah satunya, persoalan biosekuriti dan keamanan hayati pada manusia.
Material biologi seperti mikroorganisme, hewan dan tumbuhan sebagian besar digunakan sebagai subjek dan objek bagi tujuan penelitian, dapat menimbulkan potensi risiko bagi kehidupan manusia. Risikonya antara lain meningkatnya hama dan penyakit yang tidak diinginkan atau organisme asing (spesies asing) yang dapat mengancam kehidupan di suatu negara.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Enny Sudarmonowati mengatakan masalah biosekuriti belum mendapat perhatian serius di Indonesia. Dalam UU Nomor 16 Tahun 1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan belum secara spesifik menyebutkan kata biosekuriti. Padahal, negara lain sudah sangat perhatian terhadap biosekuriti dan ada Undang-Undangnya.
Keberadaan Badan Karantina Pertanian serta Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan lebih banyak pencegahan di pintu masuk bandara atau pelabuhan. Contohnya, adanya kutu yang menempel di buah-buahan baru terdeteksi setelah diperiksa di bandara atau pelabuhan. Padahal kutu itu bisa menyebabkan wabah penyakit di Indonesia.
“Keanekaragaman hayati perlu kita lindungi dengan benar-benar secara terstruktur bukan hanya melalui karantina, tetapi secara peraturan dan lain-lain,” kata Enny di sela-sela Bilateral Workshop on Biosecurity and Biosafety 2018 di Pusat Penelitian Biologi LIPI, Kawasan Cibinong Science Center – Botanical Garden (CSC – BG), Bogor pada Senin (3/9/2018).
Untuk itu, Enny menyambut baik revisi UU Nomor 16 Tahun 1992 yang akan memasukkan aturan terkait biosekuriti. Enny berharap pemerintah segera memiliki sistem terkait biosekuriti dan keamanan hayati untuk tanaman, hewan, manusia di Indonesia.
Melalui workshop ini, Enny berharap semua pihak dapat mencari pemahaman bersama tentang pentingnya implementasi biosekuriti dan keamanan hayati pada manusia secara lintas sektoral khususnya di Indonesia dan secara global antar negara.
Dalam pelaksanaan wokshop ini, LIPI menggandeng The Australian Plant Biosecurity Science Foundation (APBSF), the Crawford Fund Australia, dan the Indonesian Biosecurity Foundation (IBF). Menurutnya, Australia termasuk negara yang paling protektif terhadap sumber daya hayati.
“Sampai sekarang kita mau bawa daging mau masuk ke Australia, aturannya ketat sekali. Australia termasuk paling ketat di dunia. Kita ingin belajar dari mereka,” tambahnya.
Enny menceritakan, suatu ketika ada kapal yang masuk ke Australia. Kapal itu dicek saat masih jauh dari pelabuhan dan terdeteksi ada satu kutu putih. Kapal tersebut pun akhirnya diminta menjauh dari Australia.
Dalam kesempatan tersebut, Antarjo Dikin dari Badan Karantina Pertanian mengatakan pengawasan yang ketat dan tersistem sangat penting untuk mencegah masuknya hama dan penyakit, virus maupun bakteri dari hewan, tumbuhan, maupun manusia. Tantangannya, Indonesia memiliki ribuan pelabuhan sebagai pintu masuk, sementara pegawai di Badan Karantina terbatas.
Karena itu upaya pencegahan dari negara asal (pre border) sangat penting dilakukan. Namun sistem ini harus melalui perjanjian dua negara. “Yang penting bagaimana penyakit yang ada di negara eksportir tadi tidak masuk ke negara kita. Jadi pencegahannya di sana. Kalau sudah clean di mana saja aman, bisa masuk ke Indonesia,” pungkasnya.