Terjadi Dua Kali Setahun, Yuk Kenali Fenomena Solstis

TechnologyIndonesia.id – Solstis merupakan fenomena yang menandai titik balik matahari, di mana matahari berada di titik paling utara dan paling selatan.

Peneliti Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Santi Sulistiani mengatakan, fenomena ini terjadi dua kali setiap tahunnya. Posisi matahari ada di paling utara sekitar 20 atau 21 Juni, dan paling selatan pada 21 atau 22 Desember.

Santi mengungkapkan, solstis terjadi karena kemiringan sumbu rotasi Bumi sekitar 23,5 derajat terhadap sumbu orbitnya mengelilingi Matahari. Ini menyebabkan variasi musiman dalam jumlah cahaya matahari yang diterima oleh berbagai bagian Bumi, yang mengakibatkan adanya musim.

“Fenomena ini juga dapat menjadi patokan penentuan waktu, terutama penghitungan tanggal kalender bahwa tidak selamanya setahun adalah 365 hari,” katanya, dalam Dialog Obrolan Fakta Ilmiah Populer dalam Sains Antariksa, di YouTube BRIN Indonesia, Jumat (28/6/2024).

Peneliti Ahli Muda ini menambahkan, fenomena solstis tidak memiliki pengaruh besar di Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa. Dampaknya hanyalah perpanjangan waktu siang dan malam, seperti waktu subuh dan waktu magrib yang terus bergeser karena posisi matahari kadang di utara dan kadang di selatan.

Lebih lanjut dijelaskannya, banyak budaya menggunakan solstis sebagai penanda waktu untuk kalender mereka. Kalender Julian dan Gregorian misalnya, yang digunakan secara luas di dunia barat, memasukkan solstis sebagai titik referensi untuk penentuan tanggal penting dalam setahun.

Solstis digunakan sebagai titik referensi utama dalam kalender Gregorian untuk memastikan sinkronisasi dengan tahun tropis – waktu yang dibutuhkan Bumi untuk menyelesaikan satu orbit penuh mengelilingi Matahari, kira-kira 365,24 hari.

Santi menyebut, solstis juga punya peran dalam penentuan tahun kabisat pada kalender Gregorian.

“Kalender Gregorian memiliki siklus 400 tahun, di mana tahun-tahun yang habis dibagi empat adalah tahun kabisat, kecuali tahun yang habis dibagi 100 tetapi tidak 400. Penyesuaian ini memastikan bahwa rata-rata tahun Gregorian lebih dekat dengan tahun tropis, menjaga agar solstis tetap jatuh pada tanggal yang konsisten dari tahun ke tahun,” tutur Santi.

Selain itu, solstis berfungsi sebagai jangkar dalam perhitungan waktu dan menjaga konsistensi musim. Dengan menjaga solstis jatuh pada tanggal yang relatif konsisten setiap tahun, kalender Gregorian membantu memastikan bahwa musim tetap konsisten dengan tanggal kalender.

Kemudian, solstis berfungsi memfasilitasi perencanaan agrikultur. Petani dapat merencanakan aktivitas mereka berdasarkan tanggal solstis, mengetahui bahwa perubahan musim akan terjadi secara konsisten.

Membentuk Angka Delapan

Santi juga menjelaskan persepsi solstis dalam astronomi. Gerak semu Matahari dari perspektif Bumi, Matahari tampak bergerak di sepanjang ekliptika, jalur yang mengikuti bidang orbit Bumi. Solstis menandai titik-titik di mana Matahari mencapai deviasi maksimal dari ekuator langit.

“Jika memotret posisi Matahari pada waktu yang sama setiap hari selama setahun, hasilnya akan membentuk gambar angka delapan yang dikenal sebagai analemma. Solstis adalah titik-titik teratas dan terbawah dari analemma ini,” ucapnya.

Menurut Santi, pengamatan astronomi amat dipengaruhi oleh panjang siang dan malam. Selama solstis musim panas di Belahan Bumi Utara, malam yang lebih pendek membatasi waktu pengamatan. Sebaliknya, selama solstis musim dingin, malam yang lebih panjang memberi lebih banyak waktu untuk pengamatan.

“Solstis juga memengaruhi pola iklim global. Dengan belahan Bumi yang mengalami solstis musim panas akan menerima lebih banyak radiasi matahari, menyebabkan suhu lebih tinggi, dan sebaliknya,” urainya.

Tak hanya itu, solstis juga berdampak pada flora dan fauna. Banyak tanaman dan hewan yang bereaksi terhadap perubahan panjang hari terkait solstis.

Misalnya, beberapa spesies burung memulai migrasi mereka berdasarkan panjang hari, dan beberapa tanaman memulai fase pertumbuhan tertentu.

“Solstis bukan hanya peristiwa astronomi sederhana, tetapi juga fenomena yang memiliki dampak luas pada berbagai aspek kehidupan di Bumi,” pungkasnya. (Sumber brin.go.id)

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author