Nurul Indarti, Guru Besar Perempuan Pertama Bidang Manajemen di UGM

TechnologyIndonesia.id – Prof. Nurul Indarti, Sivilokonom., Cand.Merc., Ph.D., resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) pada Selasa (27/8/2024) di Balai Senat UGM.

Dengan dikukuhkannya Nurul sebagai guru besar, ia kini menjadi guru besar perempuan pertama dalam bidang manajemen di UGM.

Satu-satunya Guru Besar Perempuan di FEB

Selain menjadi perempuan pertama yang meraih gelar profesor di bidang manajemen, Nurul kini menjadi satu-satunya guru besar perempuan di FEB UGM. Sebelumnya, FEB UGM memiliki guru besar perempuan pertama di bidang ekonomi, Prof. Dr. Sri Adiningsih yang dikukuhkan pada 2013 dan telah meninggal pada Juni 2023.

Wanita kelahiran Yogyakarta pada 3 Agustus 1976 ini mengaku sangat bersyukur atas perolehan jabatan guru besar ini. Menurutnya, jabatan yang ia emban sejak 1 November 2020, tepatnya di usia 44 tahun, ini merupakan amanah yang perlu dijaga.

Dengan menggunakan kewenangan akademik tertinggi ini, Nurul berkomitmen untuk terus memroduksi pengetahuan melalui penelitian, menyebarkan hasilnya melalui beragam kanal publikasi dan pengajaran, serta mengaplikasikannya dalam aktivitas pengabdian kepada masyarakat di berbagai konteks.

“Setiap pencapaian dalam hidup, termasuk jabatan akademik profesor, tidak pernah bersifat personal semata. Dalam prosesnya, banyak pihak yang berkontribusi dan melapangkan jalan, semua itu atas kehendak Allah Yang Maha Melapangkan. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah,” ungkapnya, Selasa (27/8/2024) di Balai Senat UGM.

Fokus Kaji Wirausaha Kaum Marginal

Nurul merupakan dosen dan peneliti di FEB UGM yang fokus melakukan kajian soal kewirausahaan termasuk dari kelompok marjinal seperti perempuan dan penyandang disabilitas. Dalam pengukuhannya sebagai guru besar, Nurul pun menyampaikan pidato berjudul Melihat Kewirausahaan dari Pinggiran: Perspektif Etnis, Perempuan, dan Sosial.

Melalui pidatonya, Nurul mengajak para akademisi untuk melihat kewirausahaan dari kacamata yang jarang digunakan yaitu kewirausahaan etnis, kewirausahaan perempuan, dan kewirausahaan sosial. Ketiga topik tersebut ia bingkai menjadi perspektif pinggiran karena bukan menjadi arus utama yang mendominasi diskusi dalam kajian kewirausahaan.

“Kewirausahaan etnis, perempuan, dan sosial sering kali dipinggirkan atau termarginalisasi karena berbagai faktor struktural dan kultural. Mereka menghadapi berbagai hambatan yang membatasi akses mereka terhadap peluang dan sumber daya yang dinikmati oleh kelompok mayoritas,” urainya.

Kepala Departemen Manajemen FEB UGM ini menuturkan wirausaha termarginalisasi yang mencakup minoritas etnis, perempuan, individu dari latar belakang sosial ekonomi rendah, serta individu dengan disabilitas sering menghadapi bias dan prasangka yang dapat membatasi peluang mereka.

Misalnya, perempuan wirausaha mungkin berjuang dengan bias gender yang menghalangi akses mereka ke jejaring bisnis dan peluang mendapatkan mentor. Demikian pula, wirausaha minoritas etnis berpeluang menghadapi tantangan dalam berintegrasi ke dalam pasar utama karena hambatan budaya dan bahasa serta praktik diskriminatif yang membatasi peluang bisnis mereka.

Lebih lanjut Nurul memaparkan bahwa kewirausahaan yang termarginalisasi bukan hanya tentang penciptaan usaha baru tetapi juga tentang pemberdayaan sosial dan ekonomi bagi kelompok-kelompok yang kurang terwakili.

Dengan memahami tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh wirausaha termarginalisasi, kedepan dapat dikembangkan strategi yang lebih inklusif untuk mendukung dan mendorong partisipasi mereka dalam ekosistem kewirausahaan.

“Dalam literatur kewirausahaan perlu juga mempertimbangkan konteks perilaku kewirausahaan seperti lingkungan, budaya, dan sebagainya. Perubahan fokus ini penting dilakukan karena mengkaji kewirausahaan etnis, perempuan, dan sosial dalam konteksnya membantu memperkaya pemahaman kita tentang kewirausahaan secara keseluruhan,” terangnya.

Selain itu Nurul juga aktif dalam proses pengembangan kurikulum kewirausahaan menjadi kurikulum wajib bagi mahasiswa program sarjana prodi manajemen pada tahun 2004 silam.

Sementara di Magister Manajemen UGM, ia mengembangkan konsentrasi kewirausahaan pada 2011. Saat ini ia pun aktif menginisasi kurikulum keberlanjutan pada program Master in Sustainability Development and Management (MASUDEM) MM FEB UGM.

Guru Besar Bukan Tujuan

Perjalanan Nurul meraih guru besar bisa dibilang tidaklah diperoleh dengan mudah. Ia mengajukan usulan guru besar pada tahun 2017 namun belum lolos di tingkat universitas. Ia pun kembali mengajukan usulan guru besar di tahun 2019 dan akhirnya pada tahun 2020 secara resmi Nurul mendapatkan SK guru besar.

“Guru besar itu bukan tujuan, tetapi konsekuensi dari menjalankan tanggungjawab dengan baik sebagai dosen yang diikat oleh tridharma yang core-nya berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan. Ketika kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dijalankan dengan baik maka yang lain akan mengikuti, termasuk jabatan guru besar,” papar Nurul yang mengawali karir sebagai dosen di FEB UGM sejak Desember 1998.

Nurul mengatakan bahwa dengan mengemban jabatan sebagai guru besar, tanggung jawab untuk berkontribusi di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat semakin besar pula.

Bukan berarti menjadi guru besar harus menjadi yang terdepan, tetapi menurutnya seorang guru besar harus bisa menjadi teladan bagi mahasiswa dan memiliki nilai bagi dunia akademik.

Sempat Sepelekan Kuliah

Nurul bercerita di masa-masa awal kuliah ia sempat merasa jumawa. Bagaimana tidak, sebagai lulusan dari jurusan IPA saat SMA, ia merasa jika berkuliah di jurusan sosial adalah hal yang mudah. Ternyata, pemikirannya itu tidak sepenuhnya benar. Terbukti di semester 1, Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) Nurul saat itu 2,97 saja.

“Saya menggampangkan perkuliahan karena dulu dari jurusan IPA. Waktu itu, Kartu Hasil Studi (KHS) dikirim ke rumah dan Bapak bertutur mau jadi apa kamu kalau IPK tidak sampai 3,” ungkapnya.

Di semester awal kuliah Nurul memang aktif mengikuti kegiatan kepemudaan Ikatan Pelajar Muhammadiyah yang diikutinya sejak bangku SMA. Saat itu ia bersekolah di SMAN 8 Yogyakarta namun aktif mengikuti kegiatan kepemudaan Muhammadiyah. Bahkan, ia banyak mengikuti kegiatan hingga pagi buta dan menyepelekan kuliah.

“Saya pun mundur dari kegiatan IPM dan mulai serius kuliah dan akhirnya hasilnya pun bisa bagus. Pesannya memang kita harus menghargai ilmu, tidak boleh arogan pada ilmu,” tegasnya.

Selama menjalani perkuliahan, Nurul juga aktif mengikuti berbagai organisasi di kampus yang dapat mendukung studinya dan juga menjadi asisten dosen. Nurul yang masuk S1 pada 1994 pun berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya di Fakultas Ekonomi UGM di tahun 1998 dengan predikat cumlaude.

Setelah lulus Nurul mendaftar menjadi dosen di FEB UGM dan ia pun diterima mengabdi di almamaternya. Lalu, ia melanjutkan studi S2 di School of Management, University of Adger, Kristiansand, Norwegia dan meraih gelar Master of Business Administration (Sivilokonom) pada 2002 dan Master of Science in Strategic and Operations Management (Candidata Mercatoria) di Norwegian School of Economics and Business Administration, Bergen, Norwegia pada 2003.

Berikutnya, Pada 2010 Nurul berhasil meraih gelar Doktor (Ph.D) dalam bidang Knowledge Management and Innovation dari Faculty of Economics and Business, University of Groningen, The Netherlands.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author