TechnologyIndonesia.id – Pengaplikasian pestisida yang belum mengacu pada 6 tepat yaitu tepat Jenis, Dosis, Cara, Sasaran, Waktu, dan Tempat dapat menyebabkan pencemaran lahan pertanian. Agar tanah menjadi sehat perlu upaya pemulihan atau remediasi tanah yang sudah tercemar residu pestisida.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Hortikultura Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Elisabeth Srihayu Harsanti menjelaskan bahwa penggunaan pestisida memiliki peran penting untuk mempertahankan produktivitas pertanian sebagai upaya ketahanan pangan.
Dari survey yang telah dilakukan oleh Elisabeth dan tim, ada beberapa lahan pertanian di daerah Jawa Timur yang tercemar oleh pestisida.
“Umumnya aplikasi pestisida hanya 20% yang mengenai sasaran dan 80% lainnya masuk ke tanah, dan diikat oleh humus maka senyawa pestisida menjadi tidak aktif sementara,” ungkapnya dalam Webinar HortiActive #16 bertema “Mitigasi Residu Pestisida untuk Mendukung Pertanian Berkelanjutan” pada Kamis (22/5/2025).
Pemulihan Tanah
Akumulasi residu dapat mengakibatkan pencemaran lahan pertanian sehingga perlu dilakukan upaya pemulihan atau remediasi tanah. Beberapa cara untuk meminimalisir cemaran residu pestisida yaitu dengan melakukan praktek pertanian secara baik (good agricultural practices), implementasi konsep pertanian ramah lingkungan berkelanjutan dan melakukan remediasi lahan tercemar residu pestisida.
Beberapa teknologi penurun cemaran residu pestisida yang sudah pernah dihasilkan para peneliti antara lain dengan kompos, biochar kompos, urea berlapis arang aktif (AA), urea berlapis arang aktif zeolite, urea berlapis arang aktif diperkaya mikroba Bacillus aryabhattai, FIO filter inlet outlet, urea berlapis AA /biochar diperkaya mikroba konsorsia, biopestisida untuk pengendalian OPT dan remediasi.
Dari beberapa riset yang telah dilakukan oleh para peneliti, ada potensi bahwa bokashi kering, kompos kering, arang aktif sekam dan arang aktif tempurung kelapa itu mampu menurunkan residu insektisida aldrin, lindan, heptaklor, dieldrin, dan klorpirifos dalam air hingga 100% pada skala laboratorium.
Selain itu pupuk kompos kohe dan biochar dengan komposisi tertentu juga dapat meningkatkan hasil dan menurunkan kandungan residu insektisida endosulfan di tanah sawah.
Hasil penelitian lainnya terkait bioremediasi diantaranya adalah bakteri pelarut fosfat (BPF) yang mampu menurunkan karbofuran dalam tanah sawah hingga 99,6%, dan pemanfaatan mikroba konsorsia untuk memperkaya urea berlapis arang aktif: Urea berlapis arang aktif, AA-zeolite.
Elisabeth telah melakukan penelitian terkait remediasi tanah dengan menggunakan kombinasi bahan organik (kohe) dan biochar. Dalam penelitian tersebut ditemukan Bacillus, sp dalam bahan organik yang mampu berkembang dalam biochar tersebut.
Selain itu Elisabeth dan Tim juga melakukan penelitian skala laboratorium terkait remediasi lahan bawang merah yang tercemar organofosfat maupun organoklorin dengan melalui aplikasi amelioran (kombinasi kompos, biochar, dan mikroba), penyaringan air, pencucian dan pengolahan produk bawang merah.
Hasil penelitian kombinasi kompos, biochar, dan mikroba dapat menurunkan residu organofosfat (diazinon, klorpirifos, profenofos) sekitar 37-100%, dan residu organoklorin (aldrin, dieldrin, endosulfan, lindan) sekitar 80-100%.
Penurunan residu pada air tercemar organofosfat melalui penyaringan dengan menggunakan arang aktif 37-100% dan residu organoklorin hingga 100%. Selain itu juga penurunan residu pestisida pada air melalui perebusan bisa 100% sedangkan pengolahan pada produk bawang merah melalui pemanasan (digoreng dan dikukus) sekitar 15-100%.
Implementasi remediasi yang sudah dilakukan adalah penggunaan bahan organik (kompos kotoran ayam, kotoran sapi, kotoran kambing) sebagian sudah banyak dilakukan oleh petani di lahan sayuran. Selain itu di pasaran sudah banyak penjualan kompos kombinasi biochar, maupun media tanam yang merupakan kombinasi tanah-kotoran hewan-biochar di level toko pertanian.
Selain itu bimtek terkait remediasi juga sudah dilakukan namun perlu pendampingan di tingkat petani yang lebih masif dari pemerintah, swasta, dalam upaya implementasi teknologi remediasi untuk mendukung pertanian berkelanjutan.
Diseminasi Teknologi Remediasi
Elisabeth menambahkan jika ada beberapa tantangan penggunaan teknologi remediasi kedepannya yaitu perlu tersedianya teknologi remediasi di pasaran dengan harga yang terjangkau di pasaran karena petani pada umumnya ingin yang praktis sehingga diperlukan peran kerjasama industri dalam pemanfaatan hasil riset untuk produksi massal.
Kedepan perlu dilakukan pengembangan riset remediasi lahan tercemar residu pestisida dan derivatnya yang advance berbasis nano material, maupun biomolekuler, dan omic, serta perlu tersedianya sarana pengukur residu pestisida seperti GC MS/MS dan LC MS/MS.
Di akhir paparannya, Elisabeth menyampaikan bahwa perlu adanya edukasi kepada petani tentang penggunaan bahan agrokimia terutama pestisida dan dampaknya terhadap lingkungan serta upaya mitigasinya.
Selanjutnya, pendekatan pengendalian OPT secara terpadu tetap diutamakan dalam budidaya tanaman sayuran, upaya minimalisasi pestisida dalam tanah melalui ameliorasi, bioremediasi, pengelolaan produk (pencucian, pengolahan yang tepat).
Diseminasi teknologi remediasi hulu hilir dengan pendekatan sosio ekologis perlu terus menerus diupayakan untuk pertanian berkelanjutan.
“Tanah yang sehat itu akan membuat tanaman menjadi sehat sehingga produksi dan kualitas pun akan meningkat, dengan tanaman yang sehat maka manusia yang mengkonsumsi makanan tersebut akan menjadi sehat sehingga manusia yang sehat akan menyediakan sumber daya manusia yang hebat,” tutup Elisabeth. (Sumber: brin.go.id)
Teknologi Remediasi Tanah Turunkan Pencemaran Residu Pestisida
