Nol pupuk kimia! Kalimat tegas diucapkan Sarjiya Antonius, peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI saat ditanya apakah POH (pupuk organik hayati) mampu menggantikan pupuk kimia. “Batasan ph tanah hingga 6 sudah tidak perlu lagi menggunakan pupuk kimia,” lanjutnya.
Pupuk organik hayati temuan Antonius dan rekan-rekannya sudah memperoleh paten dengan nomor registrasi POO201601284. Saat ini tercatat dua perusahaan swasta dan tiga perusahaan start-up ikut ambil bagian memproduksi secara massal untuk masyarakat.
Sejak disebarkan pada masyarakat melalui program ketahanan pangan pada 2011, penggunaan POH LIPI telah menyasar berbagai wilayah di Indonesia. Teknologi produksi dan aplikasi POH telah didesiminasikan pada sekitar 7000 masyarakat petani di sekitar 60 wilayah pemerintah kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Sedangkan, produksi pupuk ini sendiri telah mencapai sejumlah 21.000 liter dengan label di pasar “Beyonic StarTmik@Lob” dengan potensi aplikasi kepada lahan seluas 300 hektar dalam satu musim.
POH LIPI merupakan pupuk non axenic kultur Rizo-mikroba Pemacu Pertumbuhan Tanaman (RPPT) yang memiliki multi biokatalis dalam menyediakan Nitrogen, Phosfat, Kalium (NPK), zat pengatur tumbuh, dan asam-asam organik yang sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi tanaman dan kesehatan tanah. “Formula POH berbasis bahan atau substrat organik lokal yang mudah didapat masyarakat dengan harga terjangkau. Bahan-bahan pembuatan pupuk tersebut, antara lain tauge, gula merah, molase, air kelapa muda, agar-agar, tepung jagung, dan tepung ikan,” ujar Anton, panggilan akrab Sarijaya Antonius. dalam Media Briefing “POH LIPI untuk Penyediaan Bahan Pangan Bergizi dan Berkelanjutan” di Jakarta, Senin (21/05/2018).
Menurut Anton, manfaat utama POH LIPI adalah meningkatkan produksi pertanian secara signifikan. Bahkan, tanaman yang menggunakan POH lebih tahan hama penyakit dan meningkatkan kualitas biokimia tanah pertanian. “ Secara rata-rata, penggunaan POH juga mampu mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia 30-50 persen dengan ph bervariasi. Namun jika PH capai 6 bisa nol persen pupuk kimia,” ujarnya.
Teknologi produksi POH, kata Anton, telah diaplikasikan di Kabupaten Malinau, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Bangka, dan Kabupaten Sangihe. Selain itu, juga telah diproduksi secara rutin dan mandiri di berbagai kelompok tani dan praktisi di berbagai wilayah Indonesia lainnya. “Kami tidak membatasi pada lisensi, tapi juga terjun mengajarkan langsung pada kelompok-kelompok petani kurang mampu,” ujarnya.
Anton berharap pola pikir petani perlahan akan berubah dan tidak lagi menggantungkan pada pupuk kimia, melainkan beralih ke pupuk organik. “Dengan penggunaan pupuk organik hayati, maka keberlangsungan kesuburan lahan pertanian di masa depan dapat terjag. Bandingkan dengan pupuk kimia yang cenderung mengurangi kesuburan tanah, dan akibatnya produksi kian turun, bahkan mencemari lingkungan,”ujarnya.
Dia juga menuturkan, penggunaan POH selain meningkatkan kualitas dan kuantitas pangan, juga berdampak ke sosial dan ekonomi masyarakat. “POH mampu menekan biaya produksi, membuat produk pangan lebih bergizi, tidak mencemari lingkungan, serta tetap menjaga kesehatan dan kesuburan tanah. Dampaknya peningkatan kualitas dan kuantitas produksi pertanian,” kata Anton. Untuk memudahkan distribusi hingga wilayah jauh, saat ini produksi POH tidak hanya cair, namun juga tersedia dalam bentuk bubuk (starter).
Hadir dalam acara Mego Pinandito, Deputi Bidang Jasa Ilniah LIPI dan Nur Aries Suestiningtyas, Karo Kerjasama Hukum dan Humas LIPI. Juga, Kemas Arfani Rahman, Kadis Pertanian Kabupaten Bangka dan Husni Thamrin, petani di Pesantren Global Insan Mandiri Cicurug Sukabumi.