Sorgum atau di tanah Jawa biasa disebut cantel merupakan tanaman pangan yang masih belum banyak dikembangkan di Indonesia. Namun dalam berbagai uji coba, sorgum telah terbukti tangguh di lahan kering karena hanya membutuhkan relatif sedikit air jika dibandingkan dengan tanaman serealia lainnya.
Para petani di Gunung Kidul saat ini makin yakin bahwa tanaman sorgum menjadi salah satu pilihan yang menarik untuk dikembangkan setelah melihat panen sorgum di desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, DIY pada 8 Februari 2014 lalu. Panen sorgum tersebut merupakan hasil uji coba mahasiswa Universitas Gunung Kidul yang tengah melakukan KKN di desa tersebut.
Dengan hasil yang menggembirakan itu, A Pad, dosen Universitas Gunung Kidul (UGK) berharap kedepannya desa Purwodadi ini bisa menjadi sentra sorgum di Gunungkidul. Camat Tepus Suyatna juga menyambut gembira. Ia mengatakan jika ada warganya yang menderita diabetes, dari pada sulit atau mahal mencari kentang lebih baik mengonsumsi sorgum ini, karena tidak hanya kenyang tapi juga tersimpan energi untuk aktivitas hidup manusia. Suyatna juga berharap dari kerjasama awal ini selanjutnya bisa dikembangkan lagi dengan mengembangkan sorgum hitam. Menurut Suyatna dulu di wilayahnya ada 3 macam sorgum, salah satunya yang digemari adalah sorgum hitam.
Varietas unggul sorgum diteliti dan dikembangkan oleh peneliti BATAN, Prof. Dr. Suranto Human. Produksi panennya dibanding dengan produksi nasional terbilang cukup tinggi yaitu 5,5 hingga 7 ton per hektar. Sorgum memiliki kadar protein yang tinggi dan rendah kalori, sehingga oleh penelitinya varietas ini diberi nama Pahat singkatan dari Pangan Sehat.
Kepala Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi BATAN, Dr. Hendig Winarno pada saat panen sorgum di Gunung Kidul juga memperkenalkan dua varietas sorgum yang baru yaitu Samurai 1 dan Samurai 2, hasil riset Iptek nuklir bidang pangan. Samurai kependekan dari sorgum hasil mutasi radiasi.
Selanjutnya dikatakan Hendig bahwa Samurai 1 adalah jenis sorgum manis yang produksinya lebih tinggi dari Pahat yaitu potensinya 7,5 ton per hektar. Batangnya bisa diperas jadi nira sebagai bahan bioetanol. Pada sorgum ini ada 3 komponen yang bisa dimanfaatkan yaitu buahnya sebagai pangan, batangnya bisa sebagai nira, dan biomassa itu sendiri bisa digunakan untuk pakan ternak yang bagus.
Sementara itu Wakil Bupati Gunungkidul, Immawan Wahyudi menegaskan, yang paling penting bisa menekan biaya pengeluaran, karena dengan memanfaatkan teknologi, bidang yang terkait dengan pertanian dan peternakan bisa menguntungkan petani.
Sorgum ini memiliki kandungan nutrisi yang tinggi sebagai bahan makanan. Kehebatan sorgum terletak pada daya adaptasi agroekologi, tahan terhadap kekeringan, dan tahan terhadap hama penyakit tanaman pangan.
Sorgum yang ditanam di desa Purwodadi, kecamatan Tepus, Gunungkidul ini varietasnya diberikan oleh mahasiswa Universitas Gunung Kidul melalui kegiatan KKN di wilayah itu. Para mahasiswa Fakultas Pertanian UGK tahun lalu melakukan kerja sama riset di Pusat Penelitian Tenaga Nuklir Pasar Jumat. Mereka ketika kembali ke kampus dibekali 3 galur Sorgum. Saat ini galur tersebut dinamakan dengan varietas Pahat (pangan sehat). Menurut Irfan, mahasiswa Fak. Pertanian semester 6 Universitas Gunung Kidul, sorgum Pahat batangnya tinggi dan gemuk sehingga sangat disukai oleh hewan ternak.
Panen sorgum di Tepus, meliputi luas 2 hektar yang ditanam di tiga lokasi desa yaitu di Pelemahan, Bulak Mudal, dan Tolojati. Kepala Kelompok Tani Jati Makmur desa Purwodadi, Marijan merasa puas dan bersyukur bisa menanam varietas ini. Sorgum buahnya bisa digunakan sebagai pengganti bahan makanan. Yang menggembirakan hati Marijan, batang sorgumnya sangat disukai ternak piaraannya. Marijan mengakui bahwa penanaman sorgum ini pupuknya dibuat sendiri dari bahan yang ada di sekitarnya, seperti tetes tebu, tanaman gamal, bonggol pisang, dan buah-buah yang tidak digunakan lagi.
Yang terpenting adalah sorgum mampu dimanfaatkan untuk pangan, batang dan daunnya untuk pakan ternak, serta mengandung bioetanol sebagai bio-energi.
Menurut pakar sorgum dari Norman E. Borlaug International Agriculture Science and Technology Fellowship Program, Kansas State University Amerika Serikat Tesfaye T. Tesso, sorgum relatif dapat tumbuh di daerah mana pun, toleran di lahan kering. Hama tanaman masih sedikit dibanding tanaman serealia lainnya, bisa untuk pangan, pakan dan energi serta cocok sebagai tanaman alternatif menghadapi perubahan iklim yang terjadi. Ia juga mengungkapkan meskipun luas daerah pertanian sorgum secara global menurun tetapi hasil produksi meningkat dari tahun ke tahun.
Peneliti BATAN Soeranto Human mengungkapkan, sorgum menduduki posisi kelima dalam pangan global setelah gandum, padi, jagung, dan jelai (barley). Ia menambahkan sorgum hanya membutuhkan sedikit pemupukan. Kelebihan sorgum diantaranya bagus untuk tulang karena mengandung kalsium cukup tinggi. Lebih cepat dalam penggemukan ternak karena mengandung kadar lemak yang tinggi pula. Menurutnya sorgum dapat diproses menjadi bahan pangan olahan seperti biskuit, roti, makanan ringan, dan saus.
Trikoesoemaningtyas dari Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB menyebutkan saat ini lahan kering di Indonesia sekitar 25,3 juta Ha dengan 18,2 juta Ha diantaranya adalah tanah asam (acid soil). Sorgum sendiri dapat beradaptasi dengan baik pada tanah asam. Berdasarkan pengalamannya di Lampung meskipun masih sedikit petani yang menanam sorgum namun para petani tua yang umumnya para transmigran tidak mengalami kesulitan menanam sorgum karena mengaku sudah mengenal sorgum dengan baik. Saat ini daerah penanam sorgum terbesar di Indonesia adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Laks