Upaya Menggenjot Produksi Kedelai, Upaya Semua Pihak

Kedelai merupakan salah satu komoditas pertanian yang harus dipenuhi secara mandiri untuk mencapai kondisi ketahanan pangan di Indonesia. Pasalnya, selama ini kedelai sudah menjadi bahan pokok yang diolah menjadi berbagai jenis panganan lain seperti tempe, tahu, tauco, kecap, dan susu nabati. 

Untuk itu, Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Mapiptek) bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) menyelenggarakan Diskusi dengan judul “Swasembada Kedelai 2014, Mungkinkah?,” di Gedung II BPPT, Jakarta, Selasa (7/8).

Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi, Dr Ir Listyani Wijayanti, mengungkapkan selama beberapa dekade terakhir ini harapan kemandirian pangan belum dapat dicapai. Produksi kedelai dalam negeri masih terbatas sehingga masih butuh impor untuk memenuhi kebutuhan di Indonesia. Ketergantungan impor kedelai ini bisa menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan kita.

Buktinya, ketika Amerika sebagai salah satu negara pengimpor utama kedelai ke Indonesia saat ini sedang mengalami kekeringan, berdampak signifikan terhadap pasokan kedelai dalam negeri. Sebab, dari kebutuhan kedelai tahun 2012 sebesar 2,2 juta ton, hanya 30 persennya dari produksi lokal.

Imbas kelangkaan kedelai beberapa pekan terakhir ini memukul industri tempe dan tahu. Bahkan, panganan tersebut sempat menghilang di pasaran karena produsen tak mampu membeli kedelai karena harga yang melambung tinggi. Harga kedelai normal sekitar 5.500 rupiah per kilogram setelah saat ini melonjak menjadi 8.000 rupiah per kilogram.

Agar masalah ini tidak berlarut-larut, maka perlu menghilangkan ketergantungan dengan kemandirian produksi kedelai dalam negeri. “Perlu adanya sinergi nasional untuk mencapai titik kemandirian nasional. Selain itu, perlu adanya komitmen dan dukungan ABG (Acdemic-Business-Government),” kata Listyani.

Pada sisi lain, kebijakan pembangunan pertanian Kementerian Pertanian tahun 2010-2014 berkaitan dengan pembangunan ketahanan pangan salah satunya pencapaian swasembada kedelai. Swasembada pangan diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, yang sejauh mungkin berasal dari pasokan domestik dengan meminimalkan ketergantungan pada perdagangan pangan. Untuk pencapaian Swasembada berkelanjutan kedelai, pemerintah pernah mentargetkan produksi 2,7 juta ton di tahun 2014 (kenaikan rata-rata 20,05 persen per tahun).

Berbagai Lembaga Penyelenggara Pemuliaan telah berhasil memperoleh beberapa varietas kedelai, selama kurun waktu 90 tahun telah dihasilkan sebanyak 71 varietas yang terdiri dari 35 varietas hasil persilangan, 18 varietas hasil introduksi, 11 varietas lokal dan 7 dari hasil mutasi radiasi. Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan 53 varietas, Perguruan Tinggi Unpad 2 varietas, Unsoed 2 varietas, Unej 2 varietas UGM 1 varietas dan BATAN 6 Varietas.

PATIR-BATAN telah melakukan penelitian aplikasi teknik nuklir dibidang pertanian khususnya pemuliaan mutasi kedelai sejak tahun 1980 dengan meradiasi benih kedelai varietas Orba dan Guntur dari sinar gamma Co.60 dengan dosis radiasi 150 Gray.

Peneliti kedelai Batan, Harry Is Mulyana, menjelaskan salah satu varietas kedelai bernama Mitani memunyai keunggulan tahan terhadap penyakit karat daun. Selain itu, tahan terhadap serangga apis penyebab virus pada kedelai.

Sedangkan, sebagai pesaing kedelai impor yang sengaja dikembangkan Batan bernama Varietas Mutiara-1. “Produk ini memiliki produktivitas tinggi, tahan penyakit, dan ukurannya besar,” kata Harry.

Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, juga mengembangkan kedelai hitam lokal. Guru Besar UGM, Prof Dr Mary Astuti, mengungkapkan kedelai hitam merupakan kedelai lokal yang sudah dikembangkan sejak abad 12. UGM mengembangkan varietas kedelai hitam bernama “Malika”.

Potensi kedelai ini di Indonesia sangat bagus, bisa mencapai 3 ton per hektar. “Kedelai ini dapat dijadikan pangan fungsional seperti kecap. Lebih dari itu, kedelai ini memiliki manfaat kesehatan karena mengandung antioksidan,” ujar Mary Astuti.

Pada dasarnya Indonesia mempunyai potensi besar mencapai swasembada kedelai sesuai target bila semua pihak yang berkepentingan berkolaborasi dan saling mendukung antara satu dengan lainnya.

Sementara itu harga kedelai yang kerap fluktuasi dituding sebagai hal penyebab enggannya para petani menanam kedelai. Perum Bulog diharapkan ikut campur tangan untuk stabilitas kedelai ini. Dan hingga saat ini Bulog masih menunggu keputusan tim revitalisasi yang bakal mengembalikan peranannya sebagai stabilisator harga atas komoditas strategis.

Direktur Perencanaan dan Pengembangan Usaha Perum Bulog Abdul Karim mengatakan sudah terbentuk tim untuk membahas masalah tersebut. Tim itu melibatkan berbagai macam instansi bukan hanya dari Bulog. Tim revitalisasi ini nanti yang bakal mempersiapkan kelembagaan, infrastruktur, hingga pembiayaan. “Jadi, kami tinggal tunggu keputusannya saja,” katanya.

Menurutnya saat ini peran Bulog seperti era Orde Baru tapi hanya sebatas beras saja. Apabila Bulog diberikan kewenangan yang lebih luas, kewenangannya pun termasuk memonopoli.

“Jadi kalau memang pemerintah menghendaki untuk kepentingan masyarakat ya bisa-bisa saja. Untuk memonopoli kami juga tidak dapat semaunya kan ada aturan mainnya,” tukas Abdul.

Saat ini kapasitas gudang Bulog mencapai maksimal empat juta ton. Dari jumlah tersebut 2,3 juta ton telah terisi oleh beras. Jadi, lanjutnya, masih ada sisa sekitar 1 juta ton untuk bisa diisi komoditas lain.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author