Jakarta, Technology-Indonesia.com – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Pertanian dan Pangan melakukan perbaikan varietas tanaman melalui pemuliaan tanaman modern untuk menghasilkan bibit unggul tanaman dan ternak.
Peneliti Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan BRIN, Bambang Heliyanto dalam webinar bertajuk “Pemuliaan Modern pada Tanaman Hortikultura dan Perkebunan” yang digelar pada Kamis (29/9/2022) menyampaikan perkembangan pemuliaan tebu di Indonesia.
Bambang menjelaskan saat ini Indonesia merupakan negara pengimpor gula terbesar dunia, dengan nilai impor setara Rp 30 triliun rupiah per tahun. Hal ini dikarenakan banyak faktor. Pertama dan utama adalah rendahnya produksi dan produktivitas gula (hablur) nasional.
Kedua, tren meningkatnya kebutuhan gula konsumsi dan industri seiring dengan proyeksi pertambahan penduduk di masa mendatang. Ketiga, komponen biaya produksi gula yang besar serta berbagai kendala-kendala terkait on farm dan off farm.
Kondisi ini, menjadi tantangan bagi periset untuk menemukan solusi riset pemuliaan tebu dari hulu ke hilir. Adanya hambatan yang diakibatkan oleh faktor abiotik juga menambah deretan permasalahan. Selain itu, tebu kalah bersaing dengan tanaman pangan, sebagai akibatnya pengembangannya terdesak ke lahan-lahan marginal.
“Belum lagi kendala biotik (hama dan penyakit), rendemen, dan produktivitas tanaman yang rendah, serta dukungan pemerintah terkait penetapan harga tebu yang pro petani dan kebijakan yang dapat menarik investor untuk berinvestasi di industri gula dan produk turunannya. Akumulasi masalah ini perlu segera dicari solusinya,” paparnya.
Pengembangan tebu berbasis korporasi petani adalah salah satu konsep yang digaungkan saat ini. Salah satunya melalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi, di samping pertanian modern dan berkelanjutan.
Diharapkan dengan pola ini target swasembada tebu dapat terpenuhi. Hal ini dapat terwujud dengan dukungan skema pembiayaan yang memadai serta keterlibatan sektor hulu dan hilir yang dapat mendongkrak tidak hanya kuantitas, namun juga kualitas tebu nasional.
Di balik permasalahan tebu tersebut, Bambang mengungkapkan Indonesia patut berbangga karena dalam satu dasawarsa terakhir, Kementerian Pertanian berhasil merakit tujuh varietas unggul tebu yang telah dilepas pada 2017 hingga 2019.
“Riset tebu kedepan adalah tantangan bagi pemulia untuk menghasilkan varietas unggul sekelas wonder cane POJ 2878. Untuk menghasilkan inovasi berkelas dunia tersebut, sinergi dan kolaborasi antar stakeholder tebu adalah kata kunci,” ungkapnya.
Beberapa riset yang saat ini berjalan di antaranya adalah menemukan tebu yang tahan luka api, tebu yang mengandung sukrosa tinggi, tebu tahan hama penggerek, dan tebu untuk energi cane.
“Tahun 2022 juga ada program mutasi untuk kekeringan, salinitas dan iklim basah yang menghasilkan 300 klon potensial yang masih dalam taraf pengujian,” imbuhnya.
Dalam webinar tersebut, Peneliti Pusat Riset Holtikultura dan Perkebunan, Tri Joko Santoso membahas pengembangan bibit unggul melalui teknologi genome editing (GE). Genome editing merupakan teknologi modifikasi gen/genom secara molekuler dengan sekuen DNA dapat disisipkan, diganti, dihapus, dan dipindahkan secara presisi dengan bantuan enzim yang berfungsi sebagai gunting molekuler pada target spesifik.
Salah satu contoh konkrit yang berhasil adalah padi dengan postur semi-dwarf setelah dilakukan pengeditan pada gen sd-1.
“Teknik GE memiliki prospek besar untuk perbaikan tanaman hortikultura karena lebih sederhana, presisi dan lebih cepat. Saat ini GE yang paling banyak digunakan dengan gunting molekuler Cas9 yang memiliki penunjuk jalan berupa sekuen RNA pendek hanya sekitar 20 nt digabung dengan komponen CRISPR (clustered regularly interspaced short polindrome repeat/Cas9),” jelasnya.
Menurutnya, teknologi CRISPR/Cas9 memiliki konstruksi yang sederhana, lebih murah dan efisiensi pengeditannya lebih tinggi, serta mampu mengedit multi situs. CRISPR/Cas9 telah diaplikasikan untuk memperbaiki sifat pada banyak komoditas pertanian temasuk tanaman hortikultura.
Tri menambahkan kelebihan GE memiliki presisi tinggi, sama dengan mutasi alami, dan tidak ada material genetik baru yang disisipkan ke genom.
Tak hanya itu GE juga memiliki regulasi-science based, sesuai dengan banyak tujuan, dan regulasinya tidak sulit. GE juga secara substansi lebih cepat dikerjakan dan sangat menghemat biaya, dan yang paling penting, produk GE dapat dikategorikan bukan GMO.
“Untuk kelemahannya sendiri, GE masih ada mutasi yang tidak diharapkan, dan berbasis teknik transformasi genetik. Di samping itu, belum semua laboratorium dapat mengaplikasikannya dan regulasi spesifik GE di Indonesia belum ada,” ungkap Tri. (sumber brin.go.id)