Susut hasil pasca panen sektor perikanan atau post-harvest fish loss (PHFL) terbilang tinggi. Di Indonesia, nilai PHFL diperkirakan sebesar 30%. Sementara, menurut estimasi Food and Agriculture Organization (FAO) nilainya mencapai 35%. Angka susut ini perlu dievaluasi mengingat telah banyak usaha dilakukan seperti implementasi Good Handling Practices (GHP), Good Manufacturing Practices (GMP), dan sistim rantai dingin.
Plt Kepala Balitbang Kelautan dan Perikanan, Nilanto Perbowo dalam siaran persnya, Selasa (3/11) mengungkapkan jika susut dibiarkan terjadi, maka kerugiannya sangat besar. Berdasarkan data tangkapan ikan laut Indonesia tahun 2014 (sebesar 5,8 juta ton atau setara Rp 99 triliun), maka nilai PHFL bisa mencapai Rp 30 triliun.
Susut hasil pasca panen perikanan dapat diartikan sebagai berkurangnya jumlah sumber pangan perikanan yang dapat dikonsumsi. PHFL terjadi dalam suatu rantai distribusi, baik dari produksi atau penangkapan, penanganan pasca panen, pengolahan, serta pemasaran. PHFL ini memberikan dampak signifikan terhadap nilai ekonomi komoditas, kualitas dan keamanan pangan, lingkungan, serta keberlanjutan sumber daya perikanan yang berdampak pada pembangunan ekonomi.
Nilanto menjelaskan, sektor perikanan sendiri mengalami dilematis. Di satu sisi, kita berupaya keras untuk terus meningkatkan produksi perikanan hingga mengalami overfishing di beberapa wilayah. Upaya mengembalikan kondisi perikanan tangkap kembali ke tingkat lestari membutuhkan waktu yang panjang dan perlu kendali sistem yang intensif. Dengan demikian, harapan untuk dapat meningkatkan eksploitasi hasil tangkapan ikan di laut belum dapat terpenuhi.
Di sisi lain, permintaan dunia dan kebutuhan domestik terhadap komoditas ikan cenderung meningkat seiring pertumbuhan penduduk. Kesenjangan muncul antara pasokan dan permintaan disertai dengan tidak terimplementasikannya GHP dan GMP sehingga berimbas pada tingginya PHFL.
“Dalam kondisi sumber daya yang masih terbatas dan permintaan komoditas perikanan yang tinggi, maka susut hasil pasca panen perikanan yang tinggi mengindikasikan perilaku boros dalam memanfaatkan sumber daya alam. Sudah barang tentu hal ini tidak boleh terjadi,” tegas Nilanto.
Evaluasi PHFL, menurut Nilanto, tidak hanya bertujuan untuk mengetahui dan mengoreksi nilai susut hasil yang sudah ada. Tetapi juga untuk mendapatkan informasi mengenai penyebab dan dampak susut hasil, serta strategi untuk mereduksi atau bahkan meniadakan susut hasil. Hal yang tak kalah penting adalah mengidentifikasi intervensi apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi atau bahkan mencegah terjadinya susut hasil.
Pentingnya PHFL tercantum dalam FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), sebuah panduan kebijakan yang mempromosikan praktik pengurangan PHFL. “Pemahaman yang baik terhadap masalah tersebut akan sangat membantu dalam menetapkan kebijakan-kebijakan lanjutannya,” tambah Nilanto.
Balitbang KP memandang, upaya meningkatkan pemahaman terhadap susut hasil perikanan merupakan kebutuhan mendesak karena berdampak pada ketahanan pangan dan ekonomi bangsa. Pengukuran PHFL diperlukan dalam menetapkan perencanaan dan pelaksanaan kebijakan untuk mencari solusi dan intervensi efektif untuk mengurangi susut hasil melalui rumusan regulasi, pengembangan iptek, peningkatan infrastruktur, akses dan layanan pasar.
Dalam konteks itulah, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Balitbang KP menyelenggarakan National Workshop on Post-Harvest Fish Losses in Indonesia di Jakarta, Selasa (3/11). Workshop bertema Fish Loss Assessments: Causes and Solution: Case studies in the Small-scale Fisheries in Indonesia menampilkan tiga pembicara utama yaitu: Yvette Diei-Ouadi (Fishery Industry Officer, FAO, Rome, Italy), R Ansen Ward (Fisheries Development Specialist, FAO, Rome, Italy), dan Susana Siar (Fishery Industry Officer, Fisheries and Aquaculture Department of the FAO).
“Workshop ini diharapkan sebagai wadah inisiasi kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku perikanan dan LSM nasional/internasional, serta pemangku kepentingan untuk meningkatkan penanganan ikan dalam rangka mengurangi susut hasil dalam rantai distribusi,” pungkas Nilanto.