Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerbitkan dua Peraturan Menteri (Permen) untuk mendukung pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan secara lestari dan berkelanjutan. Kedua permen ini mengatur tentang larangan penangkapan tiga spesies perikanan dan larangan penggunaan alat tangkap ikan pukat hela dan serta tarik.
Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, kedua Permen ditetapkan pada 8 Januari 2015 dan diberlakukan tanggal 9 Januari 2015. “Setiap orang, baik perorangan maupun korporasi diharapkan mematuhi kedua peraturan ini. Akan ada tindakan tegas dari pemerintah jika terbukti melakukan pelanggaran“, ungkap Susi di Jakarta, Senin (19/1).
Peraturan pertama bernomor 1/PERMEN-KP/2015 mengatur pembatasan penangkapan tiga spesies perikanan yakni Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scyla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.). Peraturan ini memuat lima pasal dimana penangkapan tiga spesies tersebut diperbolehkan, asalkan tidak dalam kondisi sedang bertelur dan sesuai dengan ukuran minimum.
Lobster bisa ditangkap bila panjang karapas di atas 8 cm, kepiting di atas 15 cm dan rajungan dengan lebar karapas di atas 10 cm. “Pembatasan penangkapan dilakukan karena ketersediaan ketiga spesies itu telah mengalami penurunan drastis. Pembatasan ini juga untuk restocking ekosistem,“ ujar Susi.
Berdasarkan hasil penelitian, spesies pada ukuran yang boleh ditangkap tersebut harus sudah dewasa dan pernah minimum sekali bertelur atau memijah. Bila penangkapan tidak dikendalikan, dikhawatirkan terjadi penurunan populasi dan berdampak negatif bagi nelayan. “Karena itu, bagi orang yang menangkap lobster, kepiting dan rajungan bertelur dalam keadaan hidup wajib melepaskannya ke laut”, kata Susi.
Peraturan kedua yakni nomor 2/PERMEN-KP/2015 mengatur larangan penggunaan alat penangkapan ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI). Trawls, yang dikenal dengan pukat harimau sudah lama dilarang penggunaannya karena termasuk alat penangkapan ikan yang merusak. Pukat hela terdiri dari pukat hela dasar (bottom trawls), pukat hela pertengahan (midwater trawls), pukat hela kembar berpapan (otter twin trawls) dan pukat dorong. Sementara pukat tarik (seine nets) terdiri dari pukat tarik pantai (beach seines) dan pukat tarik berkapal (boat or vessel seines).
Permen ini diterbitkan mengingat makin menipisnya kondisi sumberdaya perikanan, khususnya di Laut Arafura (WPP RI 718). Berdasarkan peta potensi sumberdaya ikan, wilayah Arafura sudah mengalami gejala tangkap-lebih (overfishing) untuk beberapa spesies ikan demersal. Selain konsumsi BBM yang tinggi, kekurangan alat tangkap pukat adalah selektivitas yang rendah karena tingginya tangkapan sampingan (by catch).
Selain masalah ekologis, penggunaan pukat tarik juga sering menimbulkan konflik sosial antar nelayan. Pasca otonomi daerah, semakin banyak nelayan yang memodifikasi alat tangkapnya menjadi alat tangkap yang mirip dengan prinsip kerja trawl. Sejak saat itu, eksploitasi terhadap sumberdaya ikan terjadi secara besar-besaran dan konflik antar nelayan juga terus terjadi.
Dengan dilarangnya penggunaan pukat tarik, nelayan didorong untuk menggunakan beberapa jenis Alat Penangkap Ikan (API). Pertama, kelompok API perangkap seperti bubu, setnet dan jermal. Kedua, kelompok API jaring lingkar seperti trammel net dan liong bun. Kemudian ketiga, kelompok API pancing seperti pancing rawai dasar dan pancing ulur.