Lamtoro Taramba, Emas Hijau di Tanah Tandus

Sumbawa, Technology-Indonesia.com – Tanaman lamtoro taramba kini menjadi harapan baru bagi banyak petani di Desa Sepayung, Kecamatan Plampang, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Bahkan menanam lamtoro dibaratkan seperti menemukan emas di tanah yang tandus.

Kemarau yang lebih panjang membuat petani hanya bisa menanam jagung sekali dalam setahun. Sejak menanam lamtoro taramba untuk pakan sapi, banyak petani di Desa Sepayung beralih menjadi peternak sapi.

Salah satunya Ketut Rajin anggota Kelompok Ternak Gunung Lestari di Dusun Kembangsari, Desa Sepayung. Sejak menanam lamtoro di lahan seluas 1 hektare, ia mulai mengurangi lahan untuk menanam jagung hingga kemudian beralih menjadi peternak sapi.

“Kita beralih dari petani jagung ke peternak karena di sini kemaraunya lebih panjang daripada penghujan jadi lebih cocoknya untuk menanam lamtoro. Ibaratnya emas di tanah yang tandus kata teman-kata yang lebih berpengalaman,” ungkap Ketut di kebun lamtoro miliknya, pada Selasa (26/4/2022).

Ketut rajin pertama kali menanam lamtoro pada tahun 2019 setelah mendapatkan bibit dari penyuluh di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB. Lamtoro ini digunakan sebagai pakan untuk penggemukan sapi yang kandangnya ada di lahan tempat menanam lamtoro.

Saat menjadi petani, Ketut sudah memelihara sapi sebagai indukan dan belum ada target untuk penggemukan. Pemberian pakannya pun seadanya. Jika indukan sapi melahirkan, maka anak sapi akan dijual setelah dipelihara selama 1 tahun.

Sejak menanam lamtoro taramba, Ketut mulai melakukan penggemukan sapi yang 100% diberi pakan lamtoro. “Untuk pengemukan kita beli bibit sapi bakalan berumur 1 tahun dengan harga Rp 5-6 jutaan. Setelah digemukkan selama 6-7 bulan, kita jual dengan harga Rp 10-11 jutaan,” tutur Ketut.

Dibandingkan dengan tanam jagung untuk lahan 1 hektare kurang lebih menghasilkan 5 ton. “Kalau harga sekarang sekitar Rp 5 ribu/kg hanya mendapatkan Rp 25 juta dan sekali tanam setahun. Kalau sapi, setahun dua kali kita bisa menggemukkan sapi,” terangnya.

Ketut mengungkapkan, untuk sapi yang belum terbiasa makan lamtoro harus diajarkan hingga terbiasa dan lahap makan lamtoro. Proses adaptasi biasanya sekitar 3-5 hari. Selanjutnya, setiap hari sapi bisa diberi makan lamtoro sekitar 10-15 kg untuk satu ekor sapi.

“Sejak menanam lamtoro kita tidak kekurangan pakan. Sebelumnya, saya harus keliling ngarit mencari pakan sapi,” ungkapnya.

Saat ini, Ketut memelihara sapi 4 ekor indukan dan menggemukkan 8 ekor sapi bakalan. Dari segi pakan, menurutnya, peggunaan lamtoro memberikan keuntungan besar. Selain tak perlu cari pakan ke berbagai tempat, pemberian pakan lamtoro juga lebih irit dan tak perlu dicampur pakan lain.


Ketut Rajin di kandang sapi miliknya

Perawatan tanaman lamtoro taramba juga tidak sulit, tanpa memerlukan penyiraman. Untuk pertama kali, ia menanam lamtoro taramba di bawah tanaman jagung. Saat ini, lahannya sudah ditanam lamtoro semua.

Untuk menanam lamtoro di lahan 1 hektare, Ketut mengaku menghabiskan 1 kg bibit dengan jarak tanam 2 m x 50 cm. Pemangkasan pertama dilakukan saat lamtoro berumur 6-7 bulan. Sesudah dipangkas, sekitar 1-2 bulan sudah tumbuh dan bisa dipangkas lagi. “Jadi tanam sekali, panen seumur hidup,” tuturnya.

Untuk pemberian pakan, menurut Ketut, tanaman lamtoro taramba berbeda dengan lamtoro lainnya. “Batangnya agak renyah. Kalau yang masih muda, sapi mau makan batangnya. Sementara lamtoro biasa agak keras batangnya,” terang Ketut.

Hal yang sama diungkapkan Wayan Ariasa yang menanam lamtoro seluas 2 hektare 20 are. Saat ini umur tanamannya sekitar 1 tahun untuk menggemukkan 8-10 ekor sapi.

Seperti Ketut Rajin, sebelumnya Wayan juga merupakan petani jagung. Selama menunggu lamtoro tumbuh, lamtoro ditanam bersama dengan jagung.

Saat pertama kali memberikan pakan lamtoro untuk penggemukan sapi, Wayan juga mengalami sapinya seperti mabuk dan mulutnya berbusa. Ia sempat panik tidak patah semangat. “Saya lepas selama 2 minggu dan setiap paginya saya mandiin. Sampai sekarang tidak keluar busa lagi,” tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat (NTB) Tanda Sahat Panjaitan menerangkan bahwa perawatan tanaman lamtoro bisa disebut hampir costless. Sebab, lamtoro merupakan tanaman legume yang sudah mendapatkan N sendiri dari udara sehingga tidak perlu dipupuk.

Persolannya hanya sewaktu tanaman masih kecil tingkat bersaing dengan gulma agak rendah. “Jadi waktu tanam pindah harus dirawat dulu sampai tingginya lebih dari 50 cm. Sesudah tingginya di atas rumput, tanaman lamtoro sudah aman,” terangnya.

Tanda mengatakan, pada musim hujan kemarin pihaknya sudah menyebar 300-350 kg benih lamtoro taramba. Untuk tanaman monokultur, 1 kg benih bisa untuk menanami lahan 3-4 hektare. Tanaman lamtoro seluas 1 hektare bisa untuk menggemukkan 8-10 ekor sapi.

Biasanya petani menggunakan sapi bakalan dengan berat badan 100-125 kg seharga Rp 6-7 juta. Setelah penggemukan dengan lamtoro selama kurang lebih 6 bulan sapi tersebut dijual sekitar Rp 11-12 juta/ekor. Rata-rata keuntungan yang didapat petani setiap bulan sekitar Rp 500 ribu/ekor.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014). Buku terbarunya, Antologi Puisi Kuliner "Rempah Rindu Soto Ibu"
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author