Sumbawa, Technology-Indonesia.com – Ladang-ladang lamtoro yang luas menghijau kini banyak kita jumpai di wilayah Kecamatan Labangka, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tanaman lamtoro tersebut digunakan penduduk Labangka sebagai pakan ternak sapi.
Lamtoro (Leucaena leucocephala) merupakan pakan yang murah dan berkualitas karena mempunyai kualitas nutrisi tinggi. Pemberian pakan lamtoro membuat pertumbuhan ternak seperti sapi bali menjadi lebih cepat. Daging sapi pun menjadi lebih lembut dan berkualitas.
Petani di Labangka rata-rata mulai menanam lamtoro pada tahun 2013. Proses pengenalan untuk menanam lamtoro sebagai pakan ternak tidaklah mudah. Pasalnya, petani di Labangka memiliki kebiasaan melepas ternak sapinya untuk mencari pakan sendiri.
Kendala tersebut pernah dirasakan oleh Muhammad Fauzan warga Desa Suka Damai, Kecamatan Labangka yang pernah menjadi penyuluh di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB. Bahkan saat menanam lamtoro, warga menganggap Fauzan gila.
Fauzan mengisahkan, awalnya pada 2013 ada empat peternak di Desa Suka Damai yang memulai memanfaatkan lamtoro lokal sebagai pakan ternak. Mereka adalah Hamdi, Amirullah, Suardika dan Hamzah.
“Setelah melihat pertumbuhan sapi yang menjadi lebih baik dengan menggunakan pakan lamtoro. Perlahan, orang mulai tergugah untuk ikut menanam lamtoro,” kata Fauzan sambil menunjukkan kandang sapi di belakang rumahnya di Desa Suka Damai pada Selasa (26/4/2022).
Fauzan mulai mengenalkan dan menanam benih lamtoro taramba pada 2013. Orang mulai banyak menanam lamtoro taramba pada 2014. Saat ini, hampir 350 hektare di Kecamatan Labangka yang ditanami lamtoro, tersebar di lima desa yaitu Desa Labangka, Desa Suka Damai, Desa Jaya Makmur, Desa Sekokat, dan Desa Suka Mulya.
Saat mengenalkan tanaman lamtoro, Fauzan harus mendatangi peternak dan menjelaskan satu per satu. Setelah terbukti lamtoro bisa membuat perkembangan ternak sapi menjadi lebih baik, mereka datang ke rumah Fauzan.
“Di sini setiap malam mereka pasti berkumpul untuk membahas masalah penggemukan sapi dengan lamtoro. Kita saling tukar informasi antara peternak satu dengan peternak lain yang sudah memanfaatkan lamtoro,” kata Fauzan.
Selain melihat hasil dari penggemukan sapi, ada dorongan kemudahan mengakses modal perbankan yang mensyaratkan ada pakan lamtoro dan kegiatan penggemukan. Menurut Fauzan, sudah banyak peternak yang mendapatkan pinjaman dari Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang nilainya bisa mencapai Rp 250 juta.
Fauzan mengatakan, saat ini tidak perlu lagi menyuruh peternak untuk menanam lamtoro. Mereka sudah mulai sadar sendiri, bahkan kita sampai kewalahan untuk mesuplay bibit. Ada juga yang memanfaatkan bibit yang tumbuh di bawah lamtoro.
Muhammad Fauzan sedang memberi pakan lamtoro untuk ternak sapinya
Keuntungan menanam lamtoro taramba selain perkembangan sapi yang meningkat, pakan ternak bisa tersedia setia saat. Peternak pun bisa menambah jumlah sapi yang digemukkan. Kalau sebelumnya hanya 2-3 ekor sapi, sekarang bisa lima sampai belasan ekor.
Perlu Bukti
Sebenarnya, warga Desa Suka Damai sering mendapat penyuluhan tentang pakan. Namun, masyarakat tidak terlalu yakin jika tidak melihat buktinya. Karena itu, selain melakukan penyuluhan, Fauzan mencoba sendiri untuk menanam lamtoro taramba.
Pada 2013, saat menanam lamtoro, masyarakat sempat mencemoohnya dan menganggap Fauzan gila. “Dulu sewaktu saya mencoba menanam lamtoro, pas bertepatan dengan musim panas. Jadi saya siram. Itu kita dikira gila, sebab lamtoro kan tidak bisa kita makan dan segala macam,” kata Fauzan sambil terkekeh.
Rata-rata mata pencaharian penduduk di Labangka adalah petani jagung. Dalam benak mereka belum tergambar apa manfaat menanam lamtoro. “Tapi sekarang banyak yang dulu bilang gila itu yang paling banyak tanam lamtoro,” tutur Fauzan.
Pada 2015, terangnya, sudah mulai ada pendampingan dari BPTP NTB maupun Universitas Mataram. Menurut Fauzan, pendampingan ini sangat bermanfaat karena bisa mengubah pola manajemen penggemukan sapi dari pakan rumput menjadi lamtoro. Ekonomi warga pun rata-rata sudah meningkat.
Fauzan mencontohkan, Supar, petani dari Suka Damai yang awalnya membiarkan ternak sapinya dilepas untuk mencari pakan sendiri. Bagi Supar, untuk apa repot-repot menanam pakan dan mengambil pakan tiap hari.
“Proses penyadarannya 5 tahun. Sekarang dia yang menyadarkan orang, karena dalam 3 tahun setelah menanam lamtoro, ia sudah bisa membangun rumah dan sebagainya. Bahkan sekarang sesama peternak kalau ada yang mau mulai beternak, pas membuat kandang digotong-royongkan,” katanya.
Menurut perhitungan Fauzan, saat ini di Desa Suka Damai lebih dari 50% penduduknya menanam lamtoro. Rata-rata warga memiliki 6 ekor sapi untuk pengemukan. Lama penggemukan bervariasi tergantung umur sapi bakalan. Untuk sapi bakalan dengan modal Rp 8-9 juta, penggemukannya sekitar 3-4 bulan. Sementara untuk sapi bakalan dengan harga Rp 6-7 juta penggemukannya sampai 6 bulan.
“Keuntungannya kalau dia beli bakalan 6 juta dengan penggemukan selama 4 bulan, minimal keuntungan 500 ribu per bulan. Bahkan ada juga yang lebih. Biaya pengemukan hampir tidak ada, hanya perlu tenaga,” terangnya.
Saat mengenalkan lamtoro, Fauzan menanam di lahan yang tidak termanfaatkan/marjinal. “Setelah mereka ikut mencoba menanam dan mengetahui hasilnya, sekarang yang dibilang gila adalah yang menanam di lahan jelek. Sekarang menanam lamtoro harus di pinggir jalan yang aksesnya mudah,” lanjutnya.
Pada kesempatan yang sama, Badrun Mutaqin mengisahkan bahwa ia tertarik menanam lamtoro setelah melihat sapi besar milik Fauzan. Setelah mengetahui kalau sapi milik Fauzan diberi pakan lamtoro, Badrun dan mertuanya tertarik menanam lamtoro taramba.
Sebelumnya mertua yang Badrun memiliki tanah luas dan banyak sapi, tapi tidak mau menanam pakan. Keduanya kemudian menanam sekitar 10 ribu benih lamtoro taramba di lahan 2 hektare. Saat ini, Badrun memiliki 9 ekor sapi untuk digemukkan.
Ia mengaku sudah beberapa kali menjual sapi hasil penggemukan. “Belum lama saya menjual 12 ekor sapi seharga Rp 120 juta. Penggemukan sekitar 6 bulan, dengan modal sapi bakalan Rp 6-7 juta,” ungkapnya.