Jakarta, Technology-Indonesia.com – Penggunaan benih bermutu sangat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman tebu. Namun perbenihan tanaman tebu menghadapi berbagai permasalan seperti jenjang perbenihan yang panjang, periode benih yang pendek, dan tingkat multipilikasi benih yang rendah. Untuk mengurai permalahan tersebut dibutuhkan dukungan teknologi.
Kepala Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas), Titik Sundari mengatakan tahap perbenihan tebu secara konvensional memiliki lima jenjang yang panjang mulai dari Kebun Benih Pokok Utama (KBPU) – Kebun Benih Pokok (KBP) – Kebun Benih Nenek (KBN) – Kebun Benih Induk (KBI) – Kebun Benih Dasar (KBD) hingga Kebun Tebu Giling (KTG). Demikian juga benih dari kultur jaringan yang memerlukan lima tahap penjenjangan dan membutuhkan waktu cukup panjang lebih dari 2 tahun.
Penjenjangan benih tebuh yang panjang ini, lanjutnya, bisa diperpendek menjadi 4 jenjang mulai dari KBP langsung ke Kebun Benih KBDS kemudian ke Kebun Benih Semi Komersial (KBSK) dan KBK. Sundari mencontohkan perbenihan tebu di Colombia yang penjenjangannya hanya 4 tahap.
“Ini merupakan suatu peluang yang bisa digunakan untuk memperpendek jenjang perbenihan pada tanaman tebu,” terang Sundari saat menjadi pembicara dalam Seminar Online Seri 3 Tanaman Pemanis pada Selasa (15/9/2020).
Permasalahan selanjutnya adalah periode benih bagal yang singkat sekitar tiga bulan pada periode umur 6-8 bulan. Periode benih ini dapat diperpanjang menjadi 4 bulan dengan memulai panen pada umur 5 hingga 8 bulan.
Selain itu, untuk menyingkronkan waktu antara panen benih dan waktu tanam bisa menggunakan benih bud chips (benih tumbuh) periode umurnya lebih dari 12 bulan. “Benih bud chips dapat bertahan hingga 2 tahun dengan melakukan perawatan yaitu pemangkasan pucuk,” terangnya.
Permasalahan ketiga yaitu tingkat multiplikasi penangkaran benih bagal yang sangat rendah. Sundari menerangkan bahwa pada lahan 1 hektare (ha) hanya mampu menghasilkan benih untuk 6 ha. Salah satu teknologi percepatan untuk pemenuhan kebutuhan benih tebu adalah menggunakan bud chips yang multiplikasinya lebih tinggi, dari 1 ha bisa menghasilkan benih untuk 15-20 ha.
Benih yang berasal dari bagal atau bud sets juga membutuhkan biaya tinggi untuk perbanyakan dan pengiriman. Benih bud sets tonasenya cukup tinggi sehingga pengirimannya membutuhkan ruang cukup besar sehingga biayanya semakin besar.
Sundari menerangkan, kebun benih membutuhkan benih dalam bentuk lonjoran sekitar 54-70 ribu mata/ha dengan tonase 7-8 ton/ha. Dalam bentuk bud sets membutuhkan 30 ribu mata/ha, sementara bud chips hanya membutuhkan 18 ribu/ha.
Penggunaan benih bud chips juga bisa mengurai pemasalahan tingginya biaya pengiriman. Benih bud chips beratnya hanya 6,5 gram sementara bud sets 15 gram. Harga benih bud chips Rp 500/bud chips, sehingga kebutuhan pembelian benih Rp 9 juta/ha. Sementara benih bud sets dengan harga Rp 450, kebutuhan benihnya Rp 14,85 juta/ha.
Total biaya yang dikeluarkan untuk benih bud chips sekitar Rp 14,26 juta/ha sementara bud sets Rp 37,125 juta/ha. “Dengan teknologi bud chips ini diharapkan akan mengurangi tonase dan biaya pengiriman,” terangnya.
Daya tumbuh benih dari bagal juga sering mengalami penurunan selama dalam proses pengiriman. Lamanya pengiriman akan mempengaruhi bagal menjadi kering sehingga pertumbuhan yang dihasilkan peluangnya menjadi tidak seragam.
“Bud chips merupakan solusi penyediaan benih tebu dalam delapan tepat yaitu jumlah, mutu, periode, distribusi, komposisi, daya tumbuh, hemat benih, dan relatif murah,” kata Sundari.
Kontribusi benih terhadap produktivitas tanaman tebu cukup tinggi. Karena itu, Sundari menekankan agar benih yang ditanam harus mutu yang baik dan bersertifikat, dari varietas baru dengan produktivitas tinggi, serta kesehatan benih yang terjaga.
“Harapannya dengan penggunaan benih bermutu akan memberikan peningkatan produksi dan kesejahteraan bagi petani,” pungkasnya.