Jakarta, Technology-Indonesia.com – Peran teknologi pemetaan laut dalam sangat penting dalam upaya menjawab berbagai isu-isu baik global, regional, maupun nasional yang saat ini memerlukan penyelesaian. Namun, menurut GEBCO (2019) dasar perairan laut dalam yang telah dipetakan saat ini hanya kurang dari 18%. Sementara itu 50% dari perairan pesisir dunia juga belum dilakukan survei pemetaan.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan kurangnya cakupan batimetri global yang komprehensif ini diakui sebagai elemen mendasar untuk mencapai tujuan kesepakatan global. Misalnya, The Paris Agreement under the UN Framework Convention on Climate Change, The Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030, dan The UN Decade of Ocean Science for Sustainable Development (2021-2030). Serta The Nippon Foundation-GEBCO Seabed 2030 Project yang sasarannya 100% dasar laut dipetakan pada 2030.
“Persoalan yang sama juga terjadi pada Indonesia dimana terdapat kelangkaan data batimetri nasional,” kata Hammam saat membuka Webinar bertema ‘Peran Teknologi Pemetaan Laut Dalam untuk Mendukung Program Batimetri Nasional, Utilitas Bawah Laut dan Ekstensi Landas Kontinen Indonesia’ yang digelar oleh kedeputian Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam melalui Balai Teknologi Survei Kelautan (Teksurla) pada Selasa (31/8/2021).
Saat ini, terang Hammam, Batimetri Nasional (Batnas) masih sebatas hasil inversi data gravity anomaly hasil pengolahan data altimetri dengan menambahkan data pemeruman (sounding) yang dilakukan oleh beberapa instansi seperti BIG, BPPT, PUSHIDROSAL, LIPI, P3GL, NGDC, BODC, dan lembaga lainnya dengan survei singlebeam echosounder maupun multibeam echosounder. Resolusi spasial data BATNAS adalah 6arc-second (180 m) dengan menggunakan datum MSL. Karena itu, survei batimetri secara nasional menjadi sangat penting untuk dilakukan.
“Batimetri merupakan salah satu komponen penting dalam sistem informasi geospasial. Sistem informasi geospasial adalah kerangka kerja yang memungkinkan pengguna untuk mengumpulkan, mengelola, dan menganalisis data geospasial,” kata Hammam.
Data batimetri merupakan salah satu komponen dalam membentuk Informasi Geospasial Dasar (IGD). Selanjutnya, IGD akan menjadi acuan dalam menghasilkan Informasi Geospasial Tematik (IGT) yang penting untuk menunjang perencanaan pembangunan ekonomi dan sosial.
Lebih lanjut, Hammam menerangkan bahwa peta kedalaman laut (batimetri) merupakan salah satu hasil utama dari survei hidrografi yaitu suatu survei yang mempelajari dan menggambarkan bentuk fisik bagian permukaan bumi yang dilingkupi air, termasuk daratan yang berbatasan dengan perairan. Permukaan bumi yang dilingkupi air mencakup: permukaan dan kolom air, juga dasar perairan, serta perubahan parameter tersebut terhadap waktu.
Data batimetri ini sangat diperlukan dalam berbagai aplikasi pemanfaatan. Misalnya, untuk mendapatkan peta laut dengan akurasi tinggi yang disebut Category Zone of Confidence atau CATZOC. Informasi peta laut ini berasal dari data hasil survei batimetri yang mengacu pada standar survei hidrografi yang berlaku secara internasional, yaitu Special Publication no. 44 yang diterbitkan oleh International Hydrographic Organization (IHO).
CATZOC merupakan standar minimal akurasi peta laut yang digambarkan secara sederhana pada peta laut sehingga mudah dimengerti dan dipahami dengan menggunakan pendekatan yang nyata sehingga dapat memberikan tingkat kepercayaan yang tinggi oleh pengguna peta laut.
Aplikasi batimetri selanjutnya untuk pemenuhan peta laut untuk wilayah yang menjadi kepentingan perhubungan laut. Dalam pengembangan dermaga baru ataupun pemeliharaan dermaga yang telah ada, ketersediaan dan pemeliharaan data batimetri menjadi sangat penting.
“Sebagai contoh, suatu dermaga dirancang dengan kondisi batimetri tertentu, berdasarkan jenis kapal yang dilayani, maupun untuk mengidentifikasi gangguan (hazard) di alur pelabuhan,” lanjut Hammam.
Selain itu, batimetri juga dibutuhkan dalam menentukan rute pelayaran kapal dan lokasi pemasangan rambu-rambu laut melalui peta navigasi. Peta navigasi ini tentu akan melancarkan kapal yang melakukan pelayaran dan mengurangi bahaya terjadinya kecelakaan.
Batimetri juga sangat penting digunakan untuk penentuan rute utilitas bawah laut seperti rute kabel serat optik untuk telekomunikasi bawah laut dan pipa bawah laut. “Survei eksplorasi geofisika dapat berkontribusi pada banyak kegiatan, seperti deteksi dan identifikasi utilitas di bawah laut untuk dijadikan peta utilitas jaringan pipa/kabel maupun benda-benda di bawah laut,” terang Hammam.
Untuk melakukan survei geofisika untuk instalasi utilitas bawah laut diperlukan beberapa teknologi seperti Differential Global Navigation Satellite System (DGNSS), Multibeam Echosounder (MBES), Singlebeam Echosounder (SBES), Sub Bottom Profiler, Side Scan Sonar, Magnetometer serta software dan kebutuhan penunjang lainnya.
Peta batimetri juga sangat penting didalam upaya untuk mendukung submisi batas landas kontinen ekstensi Indonesia. “Sebagaimana kita ketahui bersama, berdasarkan pasal 76 di dalam United Nation Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, Indonesia sebagai negara kepulauan sekaligus sebagai negara pantai mempunyai hak untuk melakukan submisi batas landas kontinen di luar 200 mil laut,” kata Hammam.
Terdapat tiga wilayah di Indonesia yang landas kontinennya berpotensi untuk ditambah di luar 200 mil laut, yaitu sebelah barat Pulau Sumatera, sebelah utara Papua dan selatan Sumba. Saat ini, upaya menambah wilayah landas kontinen Indonesia telah berhasil dilakukan di barat Pulau Sumatera pada 2010, Indonesia berhasil menambah luasan landas kontinen di luar 200 mil di barat Aceh seluas 4.209 km2. Pada 2019, Indonesia juga telah melakukan submisi landas kontinen di wilayah sebelah utara Papua.
Upaya penambahan landas kontinen tersebut sangat memerlukan data batimetri sebagai salah satu syarat penting dalam menentukan batas landas kontinen yaitu adanya penentuan kaki lereng (foot of slope) kontinen yang penentuannya didasarkan pada UNCLOS 1982. Survei batimetri untuk LKI telah dilakukan bersama Badan Informasi Geospasial (BIG) dan BPPT di barat Aceh pada 2010, di utara Papua pada 2019 maupun di Barat Bengkulu pada 2020. Survei tersebut menggunakan kapal riset Baruna Jaya BPPT.
Sebagai bagian dari institusi riset kelautan di Indonesia, saat ini BPPT melalui Balai Teksurla mempunyai dan mengelola empat buah kapal riset, yaitu KR. Baruna Jaya I, II, III dan IV. Keempat kapal riset ini mempunyai kemampuan untuk melakukan pemetaan batimetri yang lengkap mulai dari perairan dangkal sampai laut dalam, baik menggunakan MBES maupun SBES yang terpasang (mounted) pada kapal maupun portable.
“Semua peralatan ini menjadi sebuah infrastuktur untuk pelayanan survei batimetri nasional. Dilengkapi dengan kemampuan dari berbagai institusi, kita akan mandiri dan berdaulat dalam penguasaan teknologi dan melaksanakan misi-misi survei batimetri,” pungkas Hammam.