Inovasi Anak Bangsa Sulit Tembus Industri

alt
Kepala BPPT, Unggul Priyanto dalam Media Gathering BPPT 2017 (foto Humas BPPT)
 
JAKARTA – Inovasi karya anak bangsa masih sulit menembus industri dalam negeri. Serapan teknologi dan inovasi anak bangsa yang dipakai industri nasional masih di bawah 3%. Industri lokal lebih senang membeli teknologi asing.
 
Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Unggul Priyanto dalam Media Gathering BPPT 2017 di Gedung II BPPT, Jakarta, pada Rabu (18/1/2017).
 
Menurut Unggul, kemandirian suatu bangsa membutuhkan penguasaan teknologi dan inovasi. “Karena itu, perlu usaha yang luar biasa agar inovasi karya anak bangsa bisa diterima dan diproduksi secara massal di negerinya sendiri,” lanjutnya.  
 
Unggul mencontohkan, inovasi BPPT berupa garam farmasi yang baru saja diproduksi lokal oleh PT Kimia Farma selaku mitra BPPT. Untuk bisa diterima industri hingga diproduksi massal membutuhkan waktu hampir 20 tahun.
 
Selama ini hampir 99 persen bahan baku obat, seperti garam farmasi harus impor dari luar negeri. Padahal bahan baku seperti garam farmasi ini sangat mendasar dalam industri farmasi, khususnya untuk bahan baku infus.
 
 
Sepanjang tahun 2016, BPPT juga sukses membuat dan menguji coba sistem Automatic Dependent Surveillance Broadcast (ADS-B) untuk navigasi pesawat terbang. Teknologi ini sudah digunakan di Bandara Ahmad Yani Semarang. Mirisnya, teknologi tinggi ini belum bisa diproduksi massal kendati BPPT sudah mencoba menggandeng industri dalam negeri.
 
“Kendalanya adalah radar tersebut belum tersertifikasi. Hingga saat ini pihaknya bersama pemangku kebijakan terkait pun tengah berupaya menyusun regulasinya,” ujarnya.
 
Selain biaya, regulasi dan kebijakan yang tidak berpihak pada pengembang industri menjadi momok bagi inovasi teknologi di Indonesia. Contohnya inovasi ADS-B yang sudah teruji tetap sulit diproduksi karena regulasinya tidak ada.Padahal banyak bandara di Indonesia yang belum memiliki radar, khususnya di kawasan Timur.
 
 
Selain aturan, belum ada kebijakan yang berpihak pada inovasi teknologi di dalam negeri. Misalnya pemberlakuan insentif pajak dan kewajiban bagi BUMN untuk mengutamakan teknologi anak bangsa jika teknologinya sudah ada.
 
Kendala lain adalah rendahnya anggaran riset di Indonesia yang hanya 0,09 persen dari PDB nasional. Padahal Vietnam saja sudah mencapai 0,39 persen, Malaysia 1,1 persen dan Singapura 2 persen. UNESCO merekomendasikan agar anggaran riset suatu negara idealnya 2 persen.
 
Menurut Unggul, kelangsungan negara yang tidak memiliki kemandirian teknologi sangat berbahaya. Banyak potensi masalah yang kelak akan terjadi bila suatu negara terlalu mengandalkan teknologi dari luar.
 
Potensi masalah itu antara lain embargo dari pihak asing ke Indonesia. Selain itu, proyek infrastruktur dengan material tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang rendah bakal membengkak jika kurs dollar menguat.
 
Kegiatan media gathering ini merupakan bentuk pertanggung jawaban kepada publik guna melaporkan hasil-hasil yang telah dilakukan BPPT sepanjang tahun 2016. “Banyak ragam inovasi telah kita lakukan. Semua ini demi mencapai cita-cita kemandirian teknologi,” pungkasnya. 
 
 
Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014). Buku terbarunya, Antologi Puisi Kuliner "Rempah Rindu Soto Ibu"
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author