Jakarta, Technology-Indonesia.com – Perkembangan teknologi saat ini berjalan sangat cepat dan masif, sesuai tuntutan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan kemajuan ilmu pengetahuan. Situasi ini membuat semua kalangan bersiap untuk menghadapi serta mengantisipasi berbagai kemungkinan dan trend yang muncul.
Marshall McLuhan dalam bukunya “Understanding Media: The Extension of Man”, mengungkapkan bahwa setiap inovasi teknologi diciptakan sebagai ‘perpanjangan’ indera manusia untuk memberikan manfaat positif, kemudahan, serta sebagai cara baru dalam melakukan aktifitas manusia. Perkembangan teknologi komunikasi harus disertai oleh pemahaman dalam penggunaan teknologi media tersebut dari sisi manusianya sendiri.
Sejalan dengan pemikiran McLuhan, Arnold Pacey dalam bukunya “The Culture of Technology” mengatakan bahwa ada hubungan timbal balik antara peradaban dan teknologi. Dalam implementasinya, suatu teknologi bisa saja bagus dari segi teknis namun gagal dalam implementasinya karena tidak sesuai atau tidak didukung oleh budaya masyarakat setempat, serta pengelolaannya yang kurang baik oleh masyarakat.
Itulah yang menjadi “senjata makan tuan” dari dampak perkembangan teknologi ini. Walaupun pada awalnya diciptakan untuk menghasilkan manfaat positif, di sisi lain teknologi juga memungkinkan digunakan untuk hal negatif. Mengapa bisa menjadi hal yang negatif? Sebab tidak semua teknologi yang berkembang itu bisa berlaku secara global.
Selain literasi tentang teknologi yang harus terus dilakukan kepada masyarakat, ada pula faktor budaya yang memang berbeda-beda dalam setiap negara. Faktor budaya tersebut dapat mempengaruhi bagaimana cara setiap individu bahkan sebuah negara dalam memperlakukan teknologi untuk kepentingan mereka.
Determinisme teknologi telah didefinisikan sebagai pendekatan yang mengidentifikasi teknologi, atau kemajuan teknologi, sebagai elemen penyebab utama dalam proses perubahan sosial. Kalimat “Kita tidak dapat menghentikan perkembangan”, seakan menyiratkan bahwa, “Kita tidak dapat mengendalikan teknologi”.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mempunyai sisi negatif bagi manusia. TIK yang dianggap dapat mengetahui apapun dan memenuhi kebutuhan manusia dalam hampir semua aspek, bukan berarti dapat diartikan sebagai sebuah kebenaran. Sebab TIK hanya mampu menampilkan realitas. Sedangkan sesuatu yang dianggap kebenaran tentunya membutuhkan sudut pandang keadilan.
Apa yang dimaksud adil adalah sesuatu yang didapatkan oleh manusia sesuai dengan situasi dan kondisi mereka masing-masing. Adil bukan berarti sama rata. Cara berpikir manusia seperti digital dapat mengarah pada terkikisnya aspek humanis. Cara berpikir digital ini hanya mengenal benar atau salah layaknya kode biner 0 dan 1, tidak berlanjut pada negosiasi terkait kondisi setiap manusia yang dapat berbeda.
Cara berpikir dengan mengkategorikan dan memutuskan mana yang benar atau salah berdasarkan sistem yang berjalan ini, akan menuntun manusia pada ‘kesadaran palsu’. Artinya, apa yang dianggap benar atau salah menurut sistem yang berlaku, diterima begitu saja oleh manusia. Manusia menjadi semakin tidak berdaya untuk melawan sistem berdasarkan TIK yang di “dewa”kan, yang semakin lama menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.
Sedikit menyinggung dampak lain dari perkembangan TIK ini, masyarakat kini memperlakukan TIK sebagai sesuatu yang dapat meningkatkan eksistensi dan aktualisasi diri, dimana hal tersebut sejatinya merupakan salah satu kebutuhan dasar dari manusia. Contohnya, semakin banyak pengguna suatu platform media sosial yang berlomba-lomba mendapatkan follower dan like/love sebanyak-banyaknya, demi memposisikan dirinya sebagai individu yang terkenal dan kemudian menjadi sosok yang dapat mempengaruhi orang lain.
Dengan besarnya dampak dari suatu isu yang terangkat melalui platform media sosial individu tersebut, kemudian memicu beberapa lapisan masyarakat yang menjadi follower individu ini untuk mempercayai bahwa isu tersebut merupakan suatu kebenaran dari realitas yang ada.
Bukan hanya isu, namun gaya hidup juga sudah menjadi suatu kesadaran palsu yang menjadi ranah “jajahan” dari perkembangan TIK saat ini. Istilah “katro” ataupun “jadul” memang menjadi momok bagi masyarakat “kekinian” yang hidup dalam perkembangan TIK. Seakan tidak ingin diberi julukan “katro” atau “jadul”, maka apapun perkembangan gaya hidup hingga berbagai produk yang bisa meninggikan derajat sosialnya, mereka anggap sebagai suatu kebenaran yang mutlak.
Dengan sedikit kondisi yang telah dijabarkan diatas, penulis hanya sekedar mengajak kembali pembaca untuk menyegarkan pemahaman mengenai apa yang harus kita sikapi dalam determinasi TIK ini. Apakah kita di posisi “pihak yang harus menyerah” (losers)? Ataukah kita di posisi “pihak yang mengendalikan” (winners)? Perspektif penulis disini bukan berarti apatis terhadap perkembangan TIK, namun perlu kembali menjadi sebuah penyegaran untuk kita, bagaimana kita menyikapi konsekuensi dari lingkungan yang telah ‘terdigitalisasi’.
Hal ini menjadi pertimbangan, karena pada hakekatnya TIK adalah sebuah ciptaan manusia, tetapi dapat kita lihat pada kenyataannya manusia menjadi tergantung dan bahkan menggangap bahwa mereka harus seperti TIK yang sebetulnya adalah ciptaan manusia sendiri. Memposisikan diri sebagai winners atau losers dalam kondisi gencarnya badai perkembangan TIK ini memang bukan hal yang mudah, tetapi harus kita lakukan. Firmansyah, S.I. Kom, Kabid Advokasi Iprahumas/Pranata Humas Kementerian Kominfo