Hati-hati menggunakan antibiotika. Apalagi jika dilakukan tanpa resep dokter dan terus menerus. Sebuah riset di Ingris menunjukkan bahwa residu antibiotika bisa membuat nyamuk penyebar Malaria lebih buas dan berumur lebih panjang.
Dengan judul Antibiotics in ingested human blood affect the mosquito microbiota and capacity to transmit malaria, jurnal Nature Nature Communications (6 Januari 2015) menurunkan hasil riset Mathilde Gendrin dan George Christophides dari Imperial College London.
Sudah lama diketahui, antibiotik dapat mematikan bakteri pencernaan di usus. Ketika nyamuk mengisap darah mengandung antibiotic, hal serupa terjadi pada mikrobioma nyamuk. Tetapi, fakta yang kemudian terjadi, ternyata darah berkadar antibiotik justru meningkatkan kerentanan nyamuk terhadap parasit malaria. Dengan demikian, tambah Mathilde dkk, nyamuk lebih mudah menjadi vektor penyebar penyakit-penyakit akibat protozoa, termasuk malaria.
Dalam risetnya, mereka member pakan nyamuk dengan tiga macam perlakuan. Nyamuk Kelompok pertama setiap nyamuk diberi pakan darah anak yang terinfeksi parasit Malaria plus antibiotik campuran penisilin dan streptomisin. Nyamuk kelompok kedua diberi pakan darah terinfeksi plus larutan gula. Dan nyamuk kelompok ketiga, sebagai control, diberi pakan darah plus air saja. Setelah periode tertentu dibandingkan kondisinya. Ternyata, kelompok pertama, menunjukkan perkembangan menarik. Nyamuk-nyamuk, yang mengkonsumsi darah tercemar antibiotik, lebih kuat, buas, lebih cepat dan banyak menghasilkan keturunan, serta berumur panjang.
Penggunaan antibiotik diduga menyebabkan insekta seperti nyamuk lebih powerful sebagai vektor penyebaran malaria. Memang belum bisa disimpulkan apakah semua antibiotic bersifat sama. ‘’Penggunaan antibiotik yang berbeda boleh jadi berdampak beda pula,’’ tulis George Christophides dari Imperial College London.
Christophides dan koleganya kini tengah berkonsentrasi meneliti hubungan antara konsumsi antibiotika dengan perubahan mutasi DNA nyamuk malaria. Mereka juga juga akan melakukan dampak penggunaan antibiotika yang rutin dilakukan terhadap pasien tuberculosis (TBC) danr HIV (AIDS).