LIPI Kembangkan Obat Malaria Berbasis Riset Nano

alt

JAKARTA – Terapi kombinasi berbasis Artemisin Based Combination Therapy (ACT) banyak digunakan untuk menangani penyakit malaria. Namun, pengobatan ini belum berjalan maksimal. Karena itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian (Puslit) Kimia mengembangkan bahan baku obat malaria berbasis ACT dengan teknologi nano.

Malaria masih menjadi  masalah kesehatan masyarakat di tingkat global, termasuk di Indonesia. Pada tahun 2015, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan ada sekitar 214 juta kasus baru malaria dengan kematian sekitar 438 ribu orang di seluruh dunia. Data Kementerian Kesehatan pada 2015 mencatat 209.413 kasus malaria di Indonesia.

Beberapa wilayah di Indonesia bahkan dikategorikan sebagai daerah zona merah penderita malaria seperti Papua, Papua Barat Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Maluku Utara. Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5/MENKES/PMK/I/2013 tanggal 7 Januari 2013 tentang Pedoman Tatalaksana Malaria menggunakan Artemisin Based Combination Therapy (ACT).

Laporan WHO tahun 2010 menyebutkan penerapan terapi ACT dapat menekan kasus malaria secara global, namun pengobatan ini dinilai belum berjalan optimal. “Kurangnya cakupan pengobatan malaria menggunakan ACT salah satunya karena beberapa lokasi yang sudah bukan daerah endemis malaria, seperti Jakarta dan sekitarnya,” tutur Yenni dalam diskusi publik bertajuk Pengobatan Malaria melalui Pendekatan Berbasis Riset Nano di Media Center LIPI, Jakarta, pada Selasa (29/11/ 2016).

Kasus malaria yang datang dari daerah endemis kerap kali terlengahkan, lanjut Yenni, sehingga pasien tidak segera terdiagnosis sebagai pasien malaria. Beranjak dari hal tersebut, Puslit Kimia LIPI telah mengembangkan bahan baku obat malaria berbasis ACT yang lebih murah dan lebih efektif diserap oleh tubuh penderita.

“Caranya, dengan memperkecil ukuran kristal artemisinin ke dalam cakupan ukuran nanocrystal sehingga mudah larut dalam air,” jelas Yenni. Selama ini, obat malaria dikonsumsi dengan cara dimakan. Yenni a menilai obat malaria akan bekerja lebih efektif apabila larut dalam air.

Menurut Meli peningkatan kelarutan artemisinin dapat dilakukan dengan mendispersikan bahan obat itu dengan bahan pendispersi. Tujuannya, untuk meningkatkan kelarutannya di dalam air atau disebut nanodidpersi. Hasil penelitian ini  telah mendapatkan penghargaan di bidang ilmu sains, teknologi dan matematika dari L’Oréal-UNESCO For Women In Science National Fellowship Awards for Woman 2016.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author