Jakarta, Technology-Indonesia.com – Dari tangan-tangan kreatif mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), lendir lele berhasil diubah menjadi obat yang berkhasiat untuk perawatan mulut kering bagi pasien yang menjalani terapi kanker nasofaring.
“Sejumlah penelitian terdahulu menyebutkan lendir lele lokal (Clarias batrachus) mengandung sejumlah senyawa yang berkhasiat sebagai agen antimikroba untuk melawan jamur dan bakteri,” papar Deaoxi Renaschantika Djatumurti, mahasiswi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM pada Selasa (17/7/2018) di Kampus UGM, Yogyakarta. Deaoxi melakukan penelitian lendir lele bersama Zipora Silka Yoretina (FKG) dan Roissatun Nasikah (Fakultas Farmasi).
Lebih lanjut Deaoxi menerangkan, dalam lendir lele terdapat kandungan claricin, hepcidin, dan beberapa protease pendukung sebagai agen antimikroba pertahanan primer melawan bakteri dan jamur. Karenanya, tidak mengherankan meskipun hidup di perairan keruh dan berlumpur, lele mampu mempertahankan diri dari infeksi bakteri maupun jamur.
Melihat kandungan senyawa yang ada di dalam lendir lele ini, ketiganya pun mencetuskan ide untuk memanfaatkannya menjadi obat untuk pasien pasca terapi kanker nasofaring. “Pasien kanker nasofaring yang menjalani kemoterapi maupun radioterapi kerap mengalami efek samping kerusakan mukosa oral. Hal ini mengakibatkan penurunan produksi air liur atau saliva,” tutur Deaoxi.
Kondisi tersebut, lanjutnya, menyebabkan pasien mengalami nyeri telan dan merasakan sensasi terbakar. Bahkan meningkatkan risiko infeksi jamur Candida albicans dalam rongga mulut sehingga rawan terjadi kanadiasis.
Zipora menyebutkan, kondisi ini sebenarnya bisa ditangani dengan pemberian saliva buatan. Namun produk komersial saliva buatan yang beredar di luar negeri masih menggunakan bahan mucin lambung babi .
“Ini kurang cocok bagi masyarakat Indonesia dengan mayoritas muslim, sehingga kami berinovasi menciptakan formulasi saliva buatan dengan bahan alam yang dapat diterima baik oleh masyarakat indonesia” ucapnya.
Dari bentuk fisik lendir lele terlihat memiliki kekentalan menyerupai saliva manusia. Karenanya ketiga mahasiswa ini memanfatkannya menjadi saliva buatan. Penelitian ini dikembangkan di bawah bimbingan Hendri Susanto.
Hasil uji menunjukkan, saliva buatan lendir lele mampu menghambat pertumbuhan candida lebih baik daripada obat yang ada di pasaran. Diameter zona hambat 20µL saliva buatan 17% mencapai 13 mm sementara nystatin hanya 10,69 dengan volume yang sama dengan metode disk-diffusion.
Selain itu, tegangan permukaan yang terbentuk juga menunjukan bahwa nilai sudut kontak saliva buatan dengan glass slide mendekati sudut kontak saliva alami yang diuji dengan cara serupa. Kendati begitu pH larutan terbilang masih rendah berkisar 3,67 sementara pH saliva alami manusia normal sekitar 6,39.
“Hal ini bisa diatasi dengan penambahan essence atau senyawa aromatik pendukung,” imbuh Roissatun.
Saat ini penelitian yang dilakukan oleh ketiganya masih dalam tahap pre klinis secara in vitro. Ke depan mereka akan terus melakukan penelitian lanjutan untuk pengujian in vivo dan uji klinis.
“Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pioner untuk produksi obat perawatan mulut kering dengan bahan alam indonesia yang dapat diterima dengan baik di masyarakat,” pungkasnya.