Tim Garam Farmasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berhasil meraih Bacharuddin Jusuf Habibie Technology Award (BJHTA) ke-9 Tahun 2016. Tim riset beranggotakan tujuh peneliti dan perekayasa BPPT ini berhasil menciptakan teknologi garam farmasi untuk pertama kalinya di Indonesia yang mendapatkan sertifikasi dari Badan POM.
Tim Garam Farmasi BPPT terdiri dari tujuh peneliti dan perekayasa dengan berbagai latar belakang kompetensi Imam Paryanto, Bambang Srijanto, Eriawan Rismana, Wahono Sumaryono, Tarwadi, Purwa Tri Cahyana, dan Arie Fachruddin. Imam Paryanto, anggota Tim Garam Farmasi BPPT mengatakan Tim Garam BPPT yang terbentuk sejak 1994 ini berawal dari keprihatinan akan tingginya impor bahan baku obat, salah satunya garam farmasi.
“Karena itu, tim bertekad untuk berbuat sesuatu untuk mengatasi permasalahan ini dengan melakukan pengkajian dan pengembangan teknologi produksi garam farmasi dan produk turunan berbasis air laut,” kata Imam mewakili Tim Garam Farmasi BPPT dalam acara Penganugerahan BJHTA 2016, di kediaman BJ Habibie, di Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (18/8/2016).
Garam farmasi merupakan garam Natrium Klorida yang memenuhi persyaratan Farmakope, sebuah buku resmi yang dikeluarkan oleh sebuah negara yang berisi standarisasi, panduan dan pengujian sediaan obat. Dalam industri farmasi, garam ini merupakan bahan baku yang banyak digunakan untuk produksi infus, pelarut vaksin, sirup, oralit, minuman kesehatan dan lain-lain. Dalam bidang kosmetika, garam farmasi dipakai untuk bahan campuran pembuatan sabun dan sampo.
Imam memaparkan bahwa inovasi yang telah mendapat paten pada tahun 2000 dan mendapat hak perlindungan paten pada 2010 telah diterapkan oleh PT Kimia Farma dengan pembangunan pabrik garam farmasi pertama di Indonesia berkapasitas 2000 ton pertahun. Selanjutnya PT Kimia Farma dan BPPT akan membangun pabrik garam farmasi tahap kedua dengan kapasitas 4000 ton pertahun.
Tim Garam Farmasi BPPT berharap pendirian pabrik garam farmasi tersebut dapat memberikan kontribusi dalam pencapaian kemandirian salah satu bahan baku obat di indonesia.
“Kita dalam mendesain pabrik tidak hanya memperhatikan ruangan dan kualitas produk, tetapi kita juga memperhatikan betul-betul validasi terhadap masing-masing produksi. Itulah yang menjadi tantangan kami. Alhamdulillah ini bisa kita lalui sehingga sertifikat dari Badan POM bisa kami terima,” kata Imam di sela-sela acara penganugerahan BJHTA 2016.
Imam yakin kualitas garam farmasi yang dihasilkan tim riset BPPT setara dengan garam farmasi impor. Sejak selesai melakukan kajian, produk garam farmasi dihasilkan kami test di beberapa pabrik infus. Hasilnya cukup baik. Waktu itu, kami memproduksi dengan peralatan sederhana, tapi kami mampu memproduksi garam farmasi yang sesuai dengan spesifikasi Farmakope, terang Imam.
“Beberapa sampel yang diproduksi PT Kimia Farma kita uji di perusahaan-perusahaan infus seperti Otsuka, Widatra dan Biofarma. Semua masuk spesifikasi Farmakope, tidak hanya Farmakope Indonesia tapi juga Farmakope luar negeri seperti US Farmakope, British Farmakope, dan Japan Farmakope,” lanjutnya.
Salah satu tantangan pembuatan garam farmasi ini adalah bahan baku lokal yang pengotornya luar biasa banyak dan kadar airnya tinggi. “Sebenarnya kalau bahan bakunya impor sangat mudah sekali, tapi kita berhasil menemukan teknologi yang mampu memproduksi garam farmasi dari lokal,” kata Imam.
Harapannya, pembangunan pabrik garam farmasi ini bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri kemudian berekspansi untuk kebutuhan ekspor. Selain memproduksi garam farmasi berkualitas tinggi, Tim Garam BPPT akan mengembangkan garam-garam yang kualitasnya lebih rendah seperti garam industri.
Saat ini, BPPT menjalin kerjasama dengan PT Garam untuk membangun garam industri di Sampang Madura. BPPT juga berencana mengembangkan garam industri di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan.