Menunggu Antibiotik Buatan Indonesia

Jakarta – Antibiotik menjadi kebutuhan utama melawan penyakit infeksi selama puluhan tahun. Namun, ditengarai ancaman resistensi terhadap antibiotik yang ada sekarang. Permasalahan resistensi antibiotik jika tidak ditangani dengan baik, tidak hanya meningkatkan mortalitas (angka kematian), tapi juga berdampak pada pada perekonomian nasional bahkan global. Pada 2050 diperkirakan penyakit infeksi akan lebih mematikan dibanding penyakit kanker.

Pernyataan tersebut disampaikan  Dr. Andria Agusta dari Pusat Penelitian Biologi LIPI dalam orasi ilmiah pengukuhan profesor riset di Jakarta, Rabu (12/12/2018). Dr Andria menekuni bidang keilmuan alam, dan mempublikasikan penelitian mengena jenis antibiotik baru yang berasal jamur endofit.

Andria Agusta mengatakan pengembangan jamur endofit mendukung kemandirian antibiotika di Indonesia. “Dengan kondisi alam yang ideal untuk tempat tumbuh dan berkembangnya mikroba, sampai saat ini belum satu pun antibiotika yang secara resmi dihasilkan oleh mikroba yang berasal dari Indonesia. Bahkan sampai saat ini, Indonesia masih dihadapkan ketergantungan yang nyaris secara total terhadap bahan baku obat impor,” katanya..

Kandidat antibiotik yang diberi nama Episitoskirin merupakan buah kerja keras penelitian selama 10 tahun dengan berbagai kendala.”Kendala fundamental, tingkat kelarutan yang rendah dalam air. Padahal transportasi dalam tubuh berupa darah yang sebagian besar air,” ujarnya.

Epitoskirin telah melalui tahap praklinis dan tengah disiapkan untuk uji klinis (percobaan pada manusia). Antibiotik ini juga masih diperuntukkan untuk pengobatan luar, dan bukan obat asupan yang dikonsumsi. “Kami harus bekerjasama dengan dokter dan Kemenkes untuk pengembangan lebh lanjut. Termasuk juga memerlukan pendanaan dalam bentuk hibah dari Kemenristekdikti,” papar Andria.

Lebih lanjut, dia mengharapkan Pemerintah memprioritaskan penelitian-penelitian dan alokasi dana penelitian untuk menemukan obat anti infeksi. Tidak hanya anti infeksi oleh bakteri patogen, kata Andria, tetapi juga anti infeksi yang disebabkan oleh organisme lainnya seperti malaria, tuberculosis ataupun infeksi yang disebabkan oleh virus.

Selain Andria Agusta, dua peneliti lain dalam pengukuhan profesor riset baru, yaitu Dr. Eko Tri Sumarnadi Agustinus, Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, dan Dr. Firman Noor, Pusat Penelitian Politik LIPI.

Eko Tri Sumarnadi Agustinus mengungkapkan perlunya rekayasa benefisiasi mineral untuk mineral bukan logam dan batuan marginal. “Rekayasa benefisiasi bermanfaat untuk meningkatkan nilai tambah terutama mineral bukan logam dan batuan marginal, termasuk diantaranya mineral ikutan produk pertambangan, material buangan atau limbah industri yang dipandang sudah tidak ada manfaatnya lagi,” ujar Eko.

Eko menjelaskan, rekayasa benefisiasi juga diharapkan dapat menghasilkan produk jadi yang dapat digunakan di berbagai bidang. “Misalnya untuk baju anti peluru, media tanaman, bantalan rel, sampai dinding beton geopolymer untuk partisi,” katanya.

Dr Tri Handoko, Kepala LIPI menegaskan gelar profesor riset bukanlah akhir tapi awal tugas ke depan. “Para peneliti utama ini juga diharapkan mampu menjalin kerjasama dengan luar negeri sehingga juga menyumbangkan devisa bagi negara,” ujarnya. Perjanjian kerjasama, lanjut dia, dapat menjadi payung hukum kedua belah pihak.

 

You May Also Like

More From Author