TechnologyIndonesia.id – Daun Kratom (mitragyna speciosa) kini menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat karena klaim tentang manfaat kesehatan dan kontroversinya. Tanaman yang berasal dari Asia Tenggara termasuk Indonesia ini, salah satunya digunakan untuk keperluan medis tradisional.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menginisiasi berbagai riset kratom terutama penggunaannya secara tradisional dan aktivitasnya secara farmakologis.
Dari penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa kratom menunjukkan dua inflamasi yaitu di alkaloid dan ekstrak yang menyuguhkan efek analgesik.
Terkait keamanan dan potensi kecanduan, World Health Organization (WHO) masih melakukan penelitian atau mengkaji bagaimana sifat kecanduan dari kratom tersebut.
Kepala Pusat Riset Vaksin dan Obat, Organisasi Riset Kesehatan BRIN, Masteria Yunovilsa Putra mengatakan bahwa saat ini sedang dilakukan proses pengujian kratom untuk obat diabetes dengan uji in vivo dan in vitro.
“Secara empiris pun didapat data dari beberapa teman di Kalimantan yang mempunyai riwayat diabetes dan mengkonsumsi kratom, ternyata level glukosanya menjadi rendah dan kondisinya menjadi lebih bagus dibandingkan sebelum mengkonsumsi kratom,” jelas Masteria dalam BRIN Insight Every Friday (BRIEF) edisi 133 dengan tema Kratom: Traditional Uses vs Modern Applications, pada Jumat (20/9/2024).
Masteria menerangkan bahwa kratom merupakan tanaman endemik di Asia Tenggara terutama di wilayah Malaysia, dan Indonesia habitatnya mayoritas di Kalimantan, serta terdapat juga di beberapa daerah di Thailand. Umumnya kratom diekspor ke Amerika dan Eropa.
Kratom adalah tumbuhan Rubiaceae satu keluarga dengan kopi. Nama lokalnya antara lain purik, ketum di Kalimantan Barat, kedamba, kedemba di Kalimantan Timur. Terdapat beberapa tipe daun dari Kratom ini, yaitu kratom yang memiliki urat daun berwarna hijau dan merah.
Masteria juga menjelaskan, penggunaan kratom secara tradisional dikonsumsi langsung daun keringnya, atau diseduh dengan air panas, dan diminum sebagai teh.
“Kratom dipercaya dapat mengobati infeksi usus, nyeri otot, batuk, diare, serta dapat meningkatkan energi dan suasana hati atau mood booster. Pada abad ke-19, di Malaysia dan Thailand para pecandu opium menggunakan kratom untuk mengatasi kecanduan,” ungkapnya.
Pada 1921, senyawa kratom pertama kali diisolasi oleh Hooper, dan risetnya berlangsung sejak 103 tahun yang lalu, bahkan sampai saat ini masih menjadi kontroversi.
Pada salah satu paper Journal of The Chemical Society Transactions pada 1921 menyebutkan, Ellen Field mengisolasi senyawa mitragynine dan mitraversine dari Mitragyna speciosa. Dia menyebutkan, kratom digunakan untuk pengobatan pada kecanduan opium dan anestesi lokal.
Setidaknya terdapat 40 jenis senyawa alkaloid dalam daun kratom. Lima senyawa utamanya yaitu mitragynine, paynantheine, speciogynine, 7-hydroxymitragynine dan speciocilatine dengan kandungan senyawa yang bervariasi di setiap daerah, yaitu antara 50 hingga 70%.
“Senyawa yang paling banyak diteliti sifat-sifat analgesik serta adiksinya adalah Mytraginine dan 7-hydroxymitragynine. Kedua senyawa ini juga menjadi senyawa tunggal untuk diteliti potensinya sebagai analgesik, inflamasi, serta untuk kanker,” rincinya.
Pada 2021, WHO Expert Committee on Drug Dependence (ECDD) melakukan prereview dampak kesehatan kratom. Mereka menyimpulkan tidak ada cukup bukti untuk dilanjutkan ke tahap critical review, namun tetap dilakukan surveilans oleh WHO.
Riset kratom yang telah dilakukan di Pusat Riset Vaksin dan Obat BRIN hingga saat ini meliputi standarisasi ekstrak alkaloid, studi in vitro yang terdiri dari aktivitas antioksidan dalam sel.
“Kemudian aktivitas anti inflamasi ganda serta adjuvant untuk terapi kanker, dan studi in vivo yang meliputi aktivitas analgesik, putus obat/withdrawal effect serta tes toksisitas akut oral,” ujarnya.
Menurutnya, ekstrak kratom memiliki sifat antioksidan yang mampu melindungi sel dari radikal bebas seperti spesies oksigen reaktif (ROS) dan oksida nitrat. Ekstrak kratom berupa ekstrak kasar dan alkaloid memiliki aktivitas anti inflamatori melalui potensi penghambat-NSAID COX-2 dan 5-LOX. Dengan efek samping yang lebih sedikit dan dapat digunakan sebagai adjuvant terapi kanker.
“Ekstrak kratom memiliki efek analgesik in vitro dan in vivo. Studi in vivo kami menunjukkan dalam dosis tertentu alkaloid kratom memiliki efek analgesik dua kali lipat lebih tinggi, daripada ekstrak kasar,” katanya.
Masteria menambahkan, kratom alkaloid yang diberikan secara kronis dengan dosis yang ditingkatkan menginduksi lebih sedikit gejala putus obat (withdrawal effect) dibandingkan dengan kelompok morfin.
“Selain itu, alkaloid kratom saat digunakan untuk mengobati kelompok yang diobati morfin cenderung mengurangi gejala putus obat,” pungkas Masteria. (sumber: brin.go.id)