Jakarta, Technology-Indonesia.com – Di sebuah pameran, pengunjung biasanya melihat aneka produk, poster atau alat peraga yang dipajang sedemikian rupa di stan atau booth pameran. Namun, perhelatan Science, Technology and Art Fair (STAFair) 2018 menyuguhkan pengalaman yang berbeda. Dengan sentuhan teknologi augmented reality (AR) dan video mapping, pengunjung bisa menikmati produk-produk hasil penelitian di layar smartphone.
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menggelar STAFair 2018 menggunakan medium teknologi digital untuk menarik generasi milenial agar menyenangi dunia penelitian dan pengembangan (litbang) serta ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Untuk itu Kemenristekdikti menggandeng anak-anak muda kreatif untuk mengemas pameran agar menarik, artistik, dan memiliki ‘wow faktor’.
Direktur Jenderal (Dirjen) Penguatan Riset dan Pengembangan (Risbang), Kemenristekdikti, Muhammad Dimyati mengungkapkan Kemenristekdikti mengelola anggaran riset yang dimanfaatkan oleh Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), Lembaga Litbang, dan Perguruan Tinggi. Namun dari puluhan ribu hasil penelitian, baru sebagian kecil yang dikomunikasikan kepada publik.
“Karena itu kita mengandeng generasi milenial untuk berinovasi membuat suatu cara mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian kepada publik dengan cara yang lebih baik untuk semua lapisan, utamanya membidik segmen generasi milenial. Untuk itulah ide ini terwujud,” terang Dimyati saat membuka STAFair 2018 di Gedung Filateli, Pasar Baru, Jakarta Pusat pada Rabu (14/11/2018).

Dimyati mengatakan, anggaran yang dikelola Kemenristekdikti sejak 2015 – 2018 melalui skema Sistem Informasi Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (Simlitabnas) mencapai Rp 4,2 triliun untuk membiayai 62 ribuan proposal penelitian. Pada 2015, ada 12.571 proposal yang dibiayai melalui skema Simlitabnas. Sementara pada tahun 2018, ada 18.395 proposal yang dibiayai dalam berbagai skema.
Lebih lanjut Dimyati menerangkan, indikator output riset minimal ada empat yaitu publikasi, kekayaan intelektual, prototipe laboratium, dan prototipe industri. Dari indikator publikasi saja, selama 2015-2018 terdapat 82.864 publikasi terindeks global yang dipublikasikan peneliti Indonesia.
“Publikasi tahun ini saja mencapai 23.455 publikasi internasional. Artinya kalau kita melihat dari indikator-indikator tersebut kita punya banyak sekali hasil-hasil penelitian,” terangnya.
Menurut Dimyati, dari 82 ribu publikasi atau 62 ribu proposal yang dibiayai Kemenristekdikti dari 2015 baru sebagian kecil yang dikomunikasikan kepada publik. Namun, jika cara mengkomunikasikan atau memamerkan masih menggunakan media konvensional akan memerlukan banyak menyediakan stan atau booth.
“Pameran interaktif yang menggunakan teknologi digital augmented reality dan video mapping sangat tepat untuk memperkenalkan Iptek kepada generasi milenial dengan pendekatan yang berbeda,” Jelas Dimyati.
STAFair 2018 yang digelar di Gedung Filateli pada 14-17 November 2018 ini menampilkan lima hasil riset terkait bidang maritim sebagai solusi sumber pangan, dan energi berkelanjutan. Agar bisa menikmati pameran secara maksimal, pengunjung harus menginstall aplikasi Assemblr karya anak bangsa melalui smartphone. Saat diarahkan pada poster yang telah diberi penanda atau marker, maka hasil penelitian akan tampil di layar smartphone.
“Jadi pameran ini memamerkan penelitian dari peneliti Indonesia dengan instrumen yang dibuat oleh anak-anak Indonesia. Kita meminimalisir produk luar negeri dan mendorong teman-teman yang muda untuk berinovasi,” terang Dimyati.
Setelah pameran di Gedung Filateli berakhir pada 17 November, hasil-hasil riset bisa dipantau secara online di https://stafair.ristekdikti.go.id/. Dimyati berharap pameran ini bukan acara pertama dan terakhir. “Kita berharap ke depan ada STAFair-STAFair lain untuk menunjukkan hasil karya kementerian. Hasil-hasil penelitian itu mari kita komunikasikan melalui sosial media agar kemanfaatannya bagi masyarakat betul-betul bisa dirasakan,” pungkasnya.
Libatkan 5 Studio Kreatif
Dalam penyelenggaraan STAFair 2018, Kemenristekdikti menggandeng lima studio kreatif dari Bandung yaitu Labtek Indie, Sembilan Matahari spesialis di projection mapping, Seruni Creative yang menghandel sosial media, Assemblr yang memiliki platform augmented reality, dan House The House.
Seterhen Akbar Suriadinata atau akrab dipanggil Saska, CEO Labtek Indie mengungkapkan, STAFair 2018 intinya mengunakan medium baru untuk mengkomunikasikan sains dan hasil riset. Sebab, riset dan teknologi selama ini asosiasinya kadang-kadang kaku.
“Saya dan teman-teman kebetulan suka ngulik teknologi dan kebetulan network-nya di Bandung. Kita coba eksplor medium-medium baru seperti augmented reality, projection mapping, dan lain-lain,” terang Saska.
Proses STAFair 2018, lanjutnya, dimulai sejak bulan puasa 2018 dengan mengadakan beberapa workshop seperti workshop pembuatan cerita, implementasi teknologi, dan lain-lain. “Di Labtek Kita banyak menggunakan metode design thinking, sebuah proses workshop co creation. Kita mencoba meminjam prinsip-prinsip desain untuk menjawab permasalahan. Kita gunakan design thinking untuk memfasilitasi proses kolaborasi beberapa studio ini,” ujarnya.
Setelah melalui beberapa proses, akhirnya mereka berhasil memvisualisasikan 5 hasil riset bidang maritim ke dalam augmented reality. Selain itu di STAFair juga ditampilkan satu story projection mapping dan gabungan keduanya. Kedua teknologi digital itu disajikan dalam medium dan narasi berupa story telling agar lebih menarik.
“Tema tahun ini tentang maritim dengan spesifikasi pangan dan energi. Kita cari riset-riset yang relevan dengan tema tersebut. Yang ingin kita bangun sebenarnya bahwa Indonesia memiliki potensi maritim yang luar biasa untuk menyelesaikan masalah pangan dan energi,” tuturnya.
Saska berharap, pameran ini bisa menginspirasi masyarakat bahwa selama ini banyak aktivitas penelitian dan inovasi yang dihasilkan oleh para peneliti. STAFair ini juga diharapkan menjadi benchmark untuk pendekatan science communication.