Strategi Pengembangan dan Pemanfaatan EBT Menuju Net Zero Emission

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat, penyediaannya masih didominasi oleh energi fosil. Di sisi lain, Indonesia telah berkomitmen untuk turut berkontribusi dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2030 sebesar 29%. Karena itu, pemerintah terus mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan bahwa Indonesia memiliki sumber EBT yang cukup besar berasal dari surya, hidro, panas bumi, bioenergi, angin, laut, dan lain-lain. Sayangnya, masih banyak potensi EBT yang belum dikembangkan. Sebagian besar pemanfaatan EBT berasal dari energi hidro, panas bumi, dan bioenergi.

“Memang kita harus meningkatkannya, karena pada 2020 kontribusi energi baru dan terbarukan kita baru mencapai 11,20 persen, sementara kita punya target nasional pada 2025 mencapai 23%. Target ini cukup berat karena saat ini kita mengalami dampak dari pandemi Covid-19,” kata Arifin kata Pekan Inovasi Energi Baru dan Terbarukan Indonesia yang digelar Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) secara daring pada Selasa (27/7/2021).

Pada pertemuan G20, Indonesia berkomitmen akan terus berupaya mengatasi isu-isu terkait energi, teknologi cerdas dan bersih, dan pembiayaan di sektor energi sebagai langkah-langkah dalam mendukung pencapaian target Paris Agreement. Untuk mewujudkan komitmen tersebut, Arifin mengatakan bahwa Indonesia harus mengurangi emisi gas rumah kaca dengan melaksanakan program-program secara menyeluruh dan efektif sesuai target Paris Agreement, serta mempercepat peningkatan teknologi inovatif.

Arifin berharap BPPT dan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) bisa menjadi driven factor yang bisa mempercepat inovasi teknologi untuk bisa memanfaatkan sumber-sumber potensi energi baru terbarukan. “Kita juga punya target Paris Agreement yaitu menurunkan emisi gas rumah kaca 29% dengan kemampuan sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada 2030,” tuturnya.

Arifin mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki potensi EBT hingga 400 gigawatt (GW) namun yang dimanfaatkan baru 11,2 persen. Saat ini, energi surya yang mendominasi potensi tersebut. Di lain sisi perkembangan teknologi untuk energi surya ini cukup besar dan menunjukkan competitiveness yang cukup tinggi.

“Kita berharap nanti sistem storagenya bisa mengikuti. Dengan adanya storage system yang memadai dan cukup kompetitif maka ini akan bisa merespon sedemikian besar penyerapan energi bersih dan terbarukan,” katanya.

Lebih lanjut Arifin menerangkan bahwa pemerintah telah menyusun Grand Strategi Energi Nasional berdasarkan beberapa tantangan krusial di masa depan karena kebutuhan energi yang meningkat sementara pasokan energi terbatas. Misalnya, produksi minyak mentah (crude) menurun, sementara impor crude dan BBM jenis gasoline meningkat. Indonesia juga masih mengimpor liquified petroleum gas (LPG). Infrastruktur gas dan listrik di Indonesia juga belum terintegrasi.

“Infrastruktur kita antara listrik dan gas belum terintegrasi dengan baik sehingga diperlukan upaya-upaya untuk bisa mengintegrasikannya sehingga lebih efisien dan manfaat energi ini bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Misalnya, sekarang kita pasang jaringan gas untuk bisa mendukung kebutuhan memasak di rumah tangga untuk bisa menggantikan LPG,” terang Arifin.

Indonesia sebenarnya mempunyai sumber energi fosil yaitu batubara yang murah, tetapi memberikan dampak emisi yang paling besar. “Sekarang semua negara-negara umumnya di dunia menuntut untuk dihentikannya pembangkit listrik tenaga uap yang memanfaatkan batubara. Di lain sisi kita masih mempunyai ratusan miliar ton deposit batubara,” lanjutnya.

Karena itu, menurut Arifin, perlu terobosan teknologi untuk bisa memanfaatkan batubara tanpa menghasilkan emisi. Kita juga harus mengalihkan pemanfaatan energi listrik yang bersumber dari EBT untuk sektor transportasi dan kebutuhan rumah tangga. ”Saya yakin dengan pemanfaatan sumber energi baru terbarukan akan memberikan dampak efisiensi cost yang besar,” tegasnya.

Net Zero Emission

Pemerintah Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebagaimana tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Untuk mendukung pencapaian net zero emission, Kementerian ESDM menyusun beberapa strategi, diantaranya mandatori biodiesel, co-firing PLTU, pemanfaatan Refuse Derived Fuel (RDF), penggantian diesel dengan pembangkit listrik energi EBT, dan lain-lain.

“Untuk menuju net zero emission maka bahan bakar fosil berangsur-angsur harus dikurangi dan selanjutnya digantikan sumber EBT. Untuk itu, perlu ada masa transisi agar sumber EBT bisa dimanfaatkan tanpa menimbulkan masalah-masalah teknis dan sosial,” kata Arifin.

Menurutnya, untuk menuju energi hijau, kita harus segera mensubtitusi energi primer/final kemudian mengkonversi energi primer fosil, serta menambah secara besar-besaran kapasitas EBT. Teknologi listrik tenaga surya (photovoltaic) misalnya, sekarang sudah maju pesat, karena itu pihaknya mendorong pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap.

Indikator pencapaian net zero emission 2060

Arifin mencontohkan, Vietnam yang memanfaatkan listrik surya atap (rooftop solar) sebesar 17 gigawatt. Dalam 2 tahun terakhir sampai hingga 2020, Vietnam berhasil menyelesaikan 9 gigawatt, sementara Indonesia masih sekitar 100 megawatt. “Ini akan menjadi fokus kita bagaimana kita mengakselerasi untuk bisa meningkatkan bauran energi kita,” lanjutnya.

Kementerian ESDM juga sudah mulai melakukan percobaan untuk memproduksi baterai sepeda motor. Sebagaimana diketahui, di Indonesia ada puluhan juta sepeda motor dan jutaan mobil. Pihaknya membidik agar sepeda motor yang berumur lebih dari 10 tahun, jika rangkanya masih bagus maka bahan bakarnya diganti baterai.

“Ini akan memberikan penghematan bagi pemiliknya karena tak perlu beli motor baru sedangkan pemakaian motor berenergi baterai listrik lebih murah. Ini barangkali bisa menjadi pemikiran bagaimana kita mencoba menghasilkan baterai untuk penggerak sepeda motor yang akan kita konversi dari yang lama menjadi baru,” tuturnya.

Arifin mengungkapkan bahwa pihaknya sudah membuat satu simulasi indikator pencapaian NZE di tahun 2060. Berdasarkan pemodelan yang telah dilakukan, upaya pencapaian NZE sektor energi dipenuhi melalui beberapa indikator. Diantaranya, konsumsi listrik per kapita pada 2040 harus bisa mencapai 2.848 kWH/kapita dan naik menjadi 5.313 kWh/kapita pada 2060. Menurut Arifin, saat ini Indonesia masih berada di level 1000-an kWh/kapita.

Indikator lainnya adalah, konsumsi energi finalnya perkapita juga akan meningkat, mencapai 0,91 TOE/kapita tahun 2060. Intensitas energi final akan turun mencapai 33 BOE/miliar rupiah di tahun 2060, dan emisi CO2/kapita akan turun menjadi 1,13 ton CO2/kapita di tahun 2060.

Arifin juga mengungkapkan strategi jangka panjang sektor energi untuk menuju karbon netral. Untuk itu, pertumbuhan ekonomi harus dijaga untuk mencapai target Indonesia Emas di tahun 2045. Program ini harus bisa selaras dengan target NZE.

“Kita harus melakukan pengembangan ebt secara masif seperti PLTS, PLTB, biomassa, geothermal, hidro, energi laut, hydrogen, battery energy storage system (BESS). Nuklir juga akan menjadi salah satu solusi untuk bisa mengeliminasi emisi,” tuturnya.

Industri baterai dalam negeri juga harus tumbuh besar, karena Indonesia memiliki sumber-sumber mineral yang besar. Pihaknya juga mendorong pengembangan interkoneksi transmisi listrik di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi pada tahun 2024, serta mendorong pengembangan smartgrid.

Tak kalah penting, pemberdayaan daerah-daerah yang terisolir serta daerah-daerah outer atau remote yang memiliki potensi sumber-sumber EBT. “Bagaimana kita bisa menciptakan teknologi tepat guna walaupun kecil tapi bermanfaat agar desa-desa atau masyarakat terpencil bisa mandiri energi,” lanjutnya.

Pengembangan teknologi tepat guna diarahkan agar perangkat-perangkatnya bisa diproduksi secara modul yang dikerjakan oleh UMKM, sementara teknologi bisa dikembangkan BPPT atau BRIN. Sinergi ini akan mencepat pencapaian elektrivikasi nasional.

Strategi lainnya adalah pengurangan pemanfaatan energi fosil atau pemanfaatan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS). Pemanfaatan teknologi ini, terang Arifin, bisa membantu proses transisi untuk mengurangi energi PLTU. Saat ini, sudah dilakukan beberapa percobaan teknologi carbon capture ini oleh PT Pertamina (Persero). Beberapa perusahaan internasonal juga sudah menawarkan untuk bisa kerjasama pengembangan teknologi carbon capture.

Strategi selanjutnya adalah mendorong pemanfaatan kendaraan listrik. Targetnya, pada tahun 2030 ada 2 juta mobil listrik dan 13 juta sepeda motor listrik. “Semoga kita semua bisa menyatukan visi kita ke depan bagaimana kita bisa memanfaatkan sumber daya alam kita sebaik-baiknya demi kemajuan bangsa,” pesan Arifin.

Riset Prioritas EBT

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko pada kesempatan tersebut mengatakan bahwa BRIN telah menyiapkan riset prioritas EBT dalam Prioritas Riset Nasional 2020-2024. Pemanfaatan EBT diyakini dapat memberikan solusi energi di masa depan dan memberikan banyak manfaat, tidak hanya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, namun juga manfaat bagi lingkungan.

“Untuk memenuhi kebutuhan energi Indonesia di masa depan, BRIN akan memperkuat ekosistem riset dan inovasi energi baru terbarukan. Selain mengurangi emisi, pemanfaatan EBT juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan menciptakan lapangan kerja baru,” terang Handoko.

Untuk menyiasati ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil, terang Handoko, perlu rencana strategis untuk wujudkan ‘Kemandirian Energi Nasional’. Diantaranya, penggunaan bahan bakar nabati yang berasal dari kelapa sawit; dan pemanfaatan biogas untuk penyediaan listrik di tempat-tempat terpencil. Selanjutnya, pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dalam skala kecil; pengembangan baterai listrik dan baterai lithium dengan teknologi fast charging; dan menjaga pengembangan teknologi nuklir.

Riset dan inovasi energi

Senior Vice President Research and Innovation Technology PT Pertamina (Persero), Oki Muraza mengatakan bahwa Pertamina berhasil menurunkan jumlah karbon atau dekarbonisasi pada tahun 2020 sebesar 27 persen. Hal ini sejalan dengan target perusahaan hingga 2030 sebesar 30 persen. Capaian tersebut melebihi 1 persen dari target yang direncanakan sebesar 26 persen pada 2020.

Tak hanya dekarbonisasi, Pertamina juga aktif mengembangkan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) secara mandiri. Ia berharap ke depannya akan terus meningkatkan intensitas dekarbonisasi dan menaikan porsi energi baru terbarukan mencapai 17 persen pada tahun 2030.

Sementara Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan, saat ini PLN tengah mendorong transisi energi dan dekarbonisasi dengan strategi bertahap guna mencapai target nol emisi karbon pada 2060. Menuju target tersebut, PLN siap memimpin transisi energi melalui pemanfaatan energi baru terbarukan di sektor ketenagalistrikan.

Misalnya, dengan menjalankan program co-firing, memasifkan penggunaan kendaraan listrik, mengonversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan pembangkit EBT dan lainnya. Komitmen PLN menekan emisi karbon tidak main-main. Perseroan telah mengeliminasi rencana pengembangan baru pembangkit listrik berbasis gas bumi dan batu bara pada 2021-2030.

Selanjutnya, PLN mulai memensiunkan generasi pertama PLTU (subcritical) pada 2030 dan dilanjutkan pada tahun berikutnya, sehingga pada 2060 seluruh PLTU digantikan pembangkit berbasis EBT. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya PLN mencapai netral karbon pada 2060 mendatang.

Ekosistem Riset

Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan dalam bauran energi nasional, EBT mengalami pertumbuhan pasokan yang paling cepat, sebesar 6,5% per tahun. Peningkatan peranan EBT tersebut mensubstitusi penurunan pangsa minyak dan gas bumi.

Pasokan EBT, lanjutnya, terus didorong seiring meningkatnya kekhawatiran akan kenaikan harga energi fosil serta dampak lingkungan dari penggunaan energi fosil. Penyediaan EBT tersebut didominasi oleh bahan bakar nabati (BBN), biomassa, hidro, dan panas bumi. Sementara itu, EBT lainnya seperti tenaga surya, angin, sampah dan biogas memiliki pangsa yang sangat kecil.

“Potensi EBT di Indonesia cukup tinggi namun belum dimanfaatkan secara optimal sehingga belum dapat mencapai target bauran energi seperti diamanatkan dalam kebijakan energi nasional. Pemanfaatan EBT masih banyak menghadapi kendala diantaranya adalah kesenjangan geografis antara lokasi sumber energi dengan lokasi kebutuhan energi serta biaya investasi teknologi energi berbasis EBT yang masih mahal,” terang Hammam.

Kepala BPPT Hammam Riza

Pemerintah melalui Kementerian ESDM telah melaksanakan beberapa program guna mengurangi karbon, yang berarti pula mengurangi pemanfaatan bahan bakar fosil, melalui beberapa strategi. Diantaranya mandatori biodiesel, co-firing PLTU, pemanfaatan refuse derived fuel (RDF), biogas, penggantian diesel dengan pembangkit listrik energi terbarukan termasukan yang berbasis hayati, pemanfaatan non listrik/non biofuel seperti briket, dan pengeringan hasil pertanian.

Untuk menjamin keberhasilan penerapan teknologi di atas, BPPT mengundang seluruh stakeholders berdiskusi serta berbagi peran dalam webinar Pekan Inovasi Energi Baru dan Terbarukan. Hammam mengatakan pengembangan EBT ini tidak bisa berjalan sendiri-sendiri melainkan harus dilaksanakan secara bersama-sama dengan melibatkan stakeholder terkait terutama yang terkait dengan pengelolaan energi yaitu PLN dan Pertamina dengan didukung oleh lembaga penyelenggara ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) nasional.

Menurut Hammam, peran ekosistem teknologi di bidang energi akan menjadi kunci keberhasilan Indonesia mencapai target pemanfaatan EBT, terlebih biaya pendirian infrastrukturnya memiliki tren menurun setiap tahunnya. Karena itu, peluang ini harus dimanfaatkan dan memiliki potensi yang sangat besar jika dikelola secara maksimal.

Dirinya menyebut BPPT telah membangun beberapa pilot plant EBT dalam upaya pemenuhan energi bersih di Indonesia, diantaranya inovasi teknologi pembangkit listrik tenaga panas bumi skala kecil modular, bahan bakar nabati (BBN) B-50 dan green fuel DED uji roadshow B50, pembangkit listrik tenaga biogas, pilot plant fluid catalytic cracking 300L/hari, hingga pengembangan sistem charging kendaraan listrik beserta kajian baterainya.

Pilot plant serta kajian di bidang energi tersebut haruslah dibawa ke tingkat yang lebih besar, yaitu dalam skala industri. Hammam menilai diperlukan peran ekosistem teknologi untuk memperbesar lingkup penerima manfaat EBT, jangan sampai teknologi karya anak negeri ini tidak terdengar, yang mengakibatkan Indonesia harus mengambil opsi impor energi.

Hammam berharap dengan adanya Pekan Inovasi Energi Baru dan Terbarukan dapat memberikan masukan, gagasan, dan strategi untuk mencapai target penggunaan energi baru terbarukan di Indonesia menuju net zero emission dengan harga energi yang terjangkau oleh masyarakat.

Pekan Inovasi Energi Baru dan Terbarukan BPPT juga bisa menjadi wadah cikal bakal ekosistem teknologi EBT yang akan diisi oleh Kementerian ESDM, lembaga riset nasional, perguruan tinggi, BUMN, industri, hingga komunitas EBT.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014). Buku terbarunya, Antologi Puisi Kuliner "Rempah Rindu Soto Ibu"
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author