Jakarta, Technology-Indonesia.com – Pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di sektor energi sebesar 358 juta ton CO2 atau 12,5 persen dengan kemampuan sendiri, atau 446 juta ton CO2 atau 15,5% dengan bantuan internasional pada tahun 2030 sesuai dokumen National Determined Contribution (NDC). Selain itu, pemerintah juga menargetkan Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Untuk mengejar pencapaian tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menggandeng Hitachi Energy untuk melaksanakan penandatanganan Letter of Intent (LoI) terkait pengembangan teknologi yang ramah lingkungan yang dilakukan oleh Plt. Sekretaris Jenderal KESDM Dadan Kusdiana dengan Regional Head South Asia Hitachi Energy N Venu.
Penandatanganan LoI ini merupakan tindak lanjut atas pertemuan Menteri ESDM Arifin Tasrif dengan CEO Global Hitachi Energy Mr. Claudio Facchin di Zurich, Swiss, pada bulan Januari 2023.
Usai menyaksikan penandatanganan, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyampaikan bahwa pada tahun 2060 diprediksi kebutuhan listrik di Indonesia mencapai 1,942 TWh. Untuk menyuplai kebutuhan tersebut, pemerintah Indonesia juga telah membuat roadmap untuk membangun pembangkit tenaga listrik dari Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 700 GW hingga tahun 2060.
“Untuk mencapai hal tersebut, kita membutuhkan support dari segi teknologi, industri, dan infrastruktur dari seluruh stakeholder,” ujarnya.
Arifin menambahkan bahwa tantangan besar dalam penyediaan tenaga listrik EBT adalah infrastruktur kelistrikan, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sumber energi berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.
Untuk itu, pemerintah juga telah menyiapkan program nasional supergrid, untuk menyambungkan antar pulau di Indonesia, khususnya di pulau-pulau besar di Indonesia. “Sekarang kita sedang berusaha menyambungkan dari Pulau Sumatera Bagian Utara hingga Pulau Jawa Bagian Timur,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Arifin mengatakan bahwa untuk mempercepat program tersebut dibutuhkan kolaborasi dan kerja sama dengan seluruh stakeholder baik nasional maupun internasional, salah satunya adalah dengan Hitachi Energy, perusahaan yang memiliki teknologi dan transformasi digital yang diperlukan untuk mempercepat transisi energi.
Pada kesempatan yang sama, Plt. Sekretaris Jenderal KESDM Dadan Kusdiana dalam laporannya mengatakan bahwa LoI antara KESDM dengan Hitachi ini untuk mempercepat transisi energi di Indonesia.
“Kesepakatan yang dijalin kedua belah pihak adalah dengan transfer pengetahuan, studi bersama, hingga solusi pengembangan teknologi khususnya dalam bidang infrastruktur kelistrikan,” jelasnya.
Sementara itu, CEO Hitachi Energy, Claudio Facchin mengatakan bahwa Hitachi Energy sangat mendukung pemerintah untuk mencapai target yang telah ditetapkan, dimana percepatan transisi energi merupakan kunci menuju NZE dan mengatasi darurat iklim.
“Kami sangat senang dapat mempererat hubungan jangka panjang kami di Indonesia dan mendukung pemerintah untuk mencapai target-target ambisiusnya. Fokus area dari kolaborasi teknis ini meliputi integrasi energi terbarukan, interkonektor, kualitas daya, teknologi Grid Edge, serta solusi digital untuk menangani kompleksitas pasokan dan permintaan listrik yang baru,” tandasnya.
“Ini adalah contoh kolaborasi yang baik untuk mencapai tujuan bersama dalam memajukan energi yang berkelanjutan di masa depan untuk semua orang,” imbuh Claudio.
Selain acara penandatanganan LoI, juga dilakukan workshop yang dibagi menjadi dua sesi, dimana sesi pagi dilaksanakan di Kantor Kementerian ESDM, dan sesi siang dilaksanakan di Hotel Pullman yang diikuti sekitar 150 peserta yang terdiri dari perwakilan KESDM, PLN, praktisi, asosiasi, serta akademisi.
Sebagai informasi, Hitachi Energy adalah pemimpin teknologi global yang memajukan energi yang berkelanjutan di masa depan. Di Indonesia, Hitachi Energy telah hadir sejak tahun 1980 mendukung infrastruktur kelistrikan di Indonesia.
Hitachi Energy juga telah terlibat dalam beberapa proyek transisi energi di Indonesia. Salah satunya adalah menghubungkan PLTP 220 MW Rantau Dedap di Sumatera Selatan yang menyediakan listrik bebas karbon ke jaringan Sumatera. Kemudian menerapkan solusi Grid Edge di beberapa wilayah, di antaranya Microgrid di Pulau Semau, Selayar dan Nusa Penida yang telah membantu memenuhi kebutuhan 20% dalam permintaan listrik selama KTT G20 lalu.