Peristiwa kecelakaan nuklir Fukushima mempengaruhi pendapat masyarakat Jepang tentang nuklir. Pasca kecelakaan Fushima sebanyak 74 persen masyarakat Jepang menyatakan penolakannya terhadap pengoperasian nuklir. Sebelumnya 66 persen mengatakan setuju dengan penggunaan nuklir.
Hal itu mengemuka dalam temu wartawan dengan Direktur Jenderal International Atomic Energy Agency (IAEA) Mr.Yukia Amano, Bapeten dan Batan,Kemenristek di Jakarta, Kamis (6/10).
Kepala Badan Pengawasa Tenaga Nuklir As Latio Lasman pada kesempatan itu menjelaskan, meningkatnya penolakan nuklir di Jepang tersebut itu tidak berpengaruh pada Indonesia.
“Saat ini nuklir di Indonesia dalam proses regulasi. Karena itu Bapeten belum bisa mereview karena izin nuklirnya belum diaplikasikan, Yang penting izin pembangunannya tidak boleh disalahgunakan dan keselamatan masyarakat harus dijamin. Kalau tidak maka PLTN tidak bisa dibangun,” ujar As Latio Lasman.
As Latio Lasman menambahkan pembangunan PLTN harus sesuai dengan peraturan yang ada, seperti mensyaratkan dibangun di atas tanah, dan harus menggunakan teknologi yang telah teruji (proven technology). Untuk menjamin keselamatan, maka ada lima tahapan perizinan PLTN, yaitu izin tapak, konstruksi, komisioning, operasi dan dekomisioning.
“Belajar dari kecelakaan PLTN Fukushima kemarin, ternyata masalah yang krusial adalah tapak,” ujarnya.
Karenanya Bapeten akan mengawasi dari awal, mulai dari izin tapak hingga akhir. Sampai saat ini Bapeten juga belum menerima aplikasi perizinan PLTN dari pihak manapun. Bapeten akan melakukan review dengan melibatkan tidak hanya tenaga internal saja tetapi juga expert baik dari dalam maupun luar negeri.
Mengingat Indonesia sebagai anggota dari IAEA, Bapeten sebagai garda terdepan dalam melakukan pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir, harus memastikan bahwa pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia hanya digunakan untuk tujuan damai, sekaligus menjamin keselamatan pekerja, masyarakat dan lingkungan dari kemungkinan bahaya radiasi.
Sementara itu menurut Yukia Amano dalam kunjungan tiga hari di Indonesia mengatakan bahwa peran Indonesia dalam perjanjian non-proliferasi nuklir (NPT/Non Proliferation Treaty) memegang pengaruh penting dalam mendukung konvensi international untuk keamanan dan keselamatan nuklir.
Indonesia dinilai Yukia Amano merupakan mitra yang secara terus menerus mendukung peran IAEA selama beberapa dekade terakhir.
Karena itu IAEA secara aktif mendukung berbagai program kerjasama teknis dengan Indonesia dan mendorong pemanfaatan nuklir untuk tujuan damai, seperti dalam bidang kesehatan, pangan, sumber daya air. Termasuk mendukung rencana pemerintah Indonesia untuk mengembangkan teknologi nuklir dalam bidang energi.
Proyeksi IAEA menunjukkan pemanfaatan energi nuklir global akan terus meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade ke depan, walaupun dalam laju yang lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya.
Saat ini terdapat 432 PLTN yang beroperasi di seluruh dunia, proyeksi terakhir memperkirakan nilai ini akan meningkat antara 90 hingga 350 pada 2030, dan Asia menjadi wilayah utama ekspansi tersebut.
Peningkatan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya meningkatnya permintaan energi global, harga bahan bakar fosil yang relatif tidak stabil serta keamanan suplai energi.
Meskipun beberapa negara telah memutuskan untuk mengurangi bahkan menghentikan sama sekali program nuklir tetapi banyak pula negara yang meneruskan pengembangan program nuklirnya. Namun banyak juga negara berkembang yang berupaya mengenalkan energi nuklir sebagai jawaban kebutuhan energi yang terus meningkat.
Saat ini seluruh negara anggota IAEA mengadopsi Action Plan on Nuclear Safety yang merupakan sebuah langkah besar dalam meningkatkan keselamatan nuklir global.
Action plan ini memuat kesepakatan seluruh negara anggota untuk mengkaji desain PLTN dalam mengantisipasi bencana alam ekstrim serta mengambil tindakan korektif yang diperlukan.
Action plan ini juga memperkuat kerangka kerjasama untuk kajian IAEA yang mencakup pengiriman misi tenaga ahli untuk mengkaji keselamatan reaktor nuklir di sebuah negara, kemampuan dalam hal kesiapsiagaan dan respon darurat serta efektivitas sistem pengawas nuklir.*