Jakarta – Sepanjang 2018, lebih dari lima bencana alam besar menimpa Indonesia. Sejumlah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, hingga fenomena likuifaksi, menelan banyak korban.
Indonesia yang terletak di kawasan Pacific Ring of Fire memang memiliki potensi bencana alam yang tinggi. Berada di gugusan gunung api dan titik pertemuan sejumlah lempengan bumi membuat Indonesia rawan diterpa bencana
Belum hilang dari ingatan setelah gempa Lombok terjadi, bencana kembali datang menghantam Sulawesi. Gempa berkekuatan 7,4 Magnitudo mengguncang Donggala dan Palu Jumat sore, 28 September 2018. Tak berapa lama, BMKG mengeluarkan peringatan tsunami setinggi 0,5 hingga tiga meter.
Namun, tiga hingga enam menit kemudian, gelombang setinggi enam meter menerjang habis sebagian kota Palu yang terletak di ujung Teluk Palu. Korban meninggal dan hilang capai ribuan jiwa.
Di penghujung 2018, tanpa peringatan, gelombang tsunami menerjang pesisir barat Pulau Jawa dan ujung selatan Pulau Sumatera. Gelombang itu menghantam Sabtu, 22 Desember 2018, sekitar pukul 21.30 WIB. Ratusan orang tewas bahkan puluhan lainnya hilang.
Hal yang menjadi polemik dari bencana tersebut adalah tidak adanya peringatan dini yang diberikan kepada warga akan bahaya tsunami. Hal itu menyebabkan tak ada korban yang sempat menyelamatkan diri saat terjadi tsunami.
Semua kalangan terhenyak dengan rentetan peristiwa tersebut. Sejak tsunami Aceh 2004, Pemerintah sudah membangun Sistem Peringatan Dini Tsunami (Tsunami Early Warning System). Namun, apa daya TEWS yang ada, tidak mampu mengantisipasi amukan tsunami.
Ditengarai puluhan alat deteksi tsunami terapung (bouy) yang disumbangkan Jerman, Amerika Serikat, dan Malaysia untuk Indonesia termasuk buatan BPPT tidak dapat dioperasikan lagi karena vandalisme atau hilang dicuri. Akibatnya peringatan potensi tsunami menjadi tidak akurat.
Pemerintah mulai membenahi kembali TEWS melalui inisiasi Kemenko Bidang Kemaritiman dan Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) serta Badan Informasi Geospasial (BIG).
BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) menjadi ujung tombak inovasi teknologi kebencanaan menyodorkan bouy versi baru serta Cable Based Tsunameter (CBT) sebagai garda terdepan sistem peringatan dini tsunami.
“BPPT selama ini tetap melakukan kajian rancang bangun bouy. Sehingga siap saat dibutuhkan,” ujar Iyan Turyana, Kepala Teknik Tim Bouy Merah Putih disela acara peluncuran kapal riset Baruna Jaya IV untuk pemasangan buoy tsunami di kawasan Gunung Anak Krakatau di Tanjung Priuk, Rabu (10/4/2019).
Untuk tahun 2019, kata Iyan, akan dibuatkan bouy model baru (generasi III) setelah bouy generasi I dan II dioperasionalkan pada 2006-2013.
Iyan mengatakan, bouy tsunami terdiri dari bouy yang ditempatkan di permukaan laut, dan perangkat yang dibenamkan di bawah laut atau Ocean Bottom Unit (OBU) yang dihubungkan dengan mooring line, yaitu saluran dari seluruh data yang dibaca oleh instrument untuk dikirimkan ke station BPPT melalui satelit.
OBU secara aktif mengirim data melalui underwater acoustic modem ke tsunami buoy yang terpasang di permukaan laut. Tsunami Buoy sendiri berperan sebagai penerima data dari OBU. Kemudian, tsunami buoy mentransmisikan data tersebut via satelit ke pusat pemantau tsunami Read Down Station (RDS) di BPPT. Buoy yang dipasang di dekat sumber gempa dan tsunami, bekerja berdasarkan gelombang tsunami atau anomali elevasi muka air laut yang dideteksi oleh sensor yang ditempatkan di OBU. Alat inilah yang berfungsi merekam kedatangan gelombang tsunami.
Deputi Bidang Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT Wahyu Widodo Pandoe mengatakan berbeda dengan sebelumnya, bouy generasi III tidak memiliki sensor di permukaan sehingga tidak menarik perhatian para pelayar. “Seluruh antene dibenamkan di bawah laut. Mooring line juga lebih kuat, perlu daya ton untuk merusaknya,” ujarnya.
Sensor-sensor dilakukan pengecekan sebelum diterjunkan ke laut melalui tahapan uji kering dan uji basah. “Tekanan dasar laut dan tinggi kolom air hasilkan gelombang. Gelombang inilah yang dianalisis tsunami atau bukan. Presisi 1 mm ukuran terendah. Jika terjadi anomali 3 cm sudah dianggap tsunami. Namun, untuk laut dangkal seperti GAK baru sekitar 40-50 cm tinggi gelombang dikategorikan tsunami,” papar Wahyu Widodo.
Cable Based Tsunameter
Untuk melengkapi bouy, BPPT juga akan membangun Cable Based Tsunameter (CBT). “CBT atau kabel bawah laut ini penting untuk melengkapi peralatan deteksi tsunami yang sifatnya dekat, atau near field tsunami,” ujar Kepala BPPT Hammam Riza.
Menurut Hammam, CBT sudah gunakan di Jepang dan AS. “ Tahun ini CBT akan dipasang sekitar 3 km di Pulau Sertung di wilayah GAK dan Mentawai,” ujarnya.
CBT dinilai lebih akurat dengan frekuensi lebih tinggi dan mendata semua spektrum kondisi bawah laut . “Bahkan tidak perlu pemeliharaan khusus seperti bouy. Namun biaya pemasangannya jauh lebih besar,” ujarnya.
Tahun ini ditargetkan dibangun 4 bouy dan 2 CBT dengan total pembiayaan capai Rp 42 miliar termasuk pembiayaan studi kelayakan pembangunan kabel bawah laut. “Pemeliharaan bouy akan dilakukan setiap tahun dengan anggaran dari konsorsium yang diposkan khusus di BPPT,” ujarnya.
Untuk pengamanan peralatan teknologi yang akan dipasang, lanjut Hammam, pihaknya akan berkoordinasi dengan BNPB, TNI dan Polri. Selain himbauan pada masyarakat, untuk tidak melakukan vandalism.
Sementara dalam jangka panjang, BPPT menargetkan 10 bouy serta CBT 2000 km yang dibangun dalam rentang waktu 2020-2024. “Tugas bersama bagaimana mengupayakan keberlanjutan sistem peringatan dini tsunami yang masif dan akurat, dengan cakupan wilayah Indonesia yang luas,” ujar Hammam.