DKI diguncang gempa. Warga DKI Jakarta sontak panik. Untungnya, hal itu baru dugaan dari seseorang saja. Para ahli pun melontarkan berbagai bantahan, menyanggah berita tak berdasar itu.
Institusi yang menjadi sasaran bertanya warga adalah Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), lembaga yang memang berwenang mengeluarkan peringatan dini tsunami ini. Agar informasi gempa tidak simpang siur itulah, Rabu (1/6) lalu BMKG mengeluarkan penjelasan resmi kepada wartawan di Jakarta.
Pada kesempatan itu BMKG menghadirkan pakar geodinamika Cecep Subarya dan pakar geoteknik dari ITB Masyhur Irsyam.
Menurut Cecep, DKI Jakarta termasuk daerah yang mempunyai tingkat ancaman gempa bumi menengah dengan maksimum percepatan goncangan 0,2 g (kategori 5)dari 10 kategori SNI 2010.
Sumber gempa bumi yang goncangannya sampai ke Jakarta berasal dari patahan semangko dan patahan kemuring (Sumatera), patahan Cimandiri dan patahan Lembang (Jawa), megatrust di sebelah barat dan selatan selat sunda, serta sumber gempa bumi dari gempa laut Jawa.
Singkatnya jika di sumber-sumber gempa itu terjadi gempa dengan kekuatan 7-8 skala richter misalnya, maka DKI Jakarta hanya akan terkena getarannya saja.
“Dari data GPS milik Bakosurtanal, diketahui gempa yang terjadi di Pangandaran tahun 2006 hanya berpengaruh kecil bagi DKI. Demikian juga dengan gempa-gempa lain yang pernah terjadi di Jawa Barat, DKI hanya merasakan getarannya saja. Jadi DKI sebenarnya tidak terlalu mengkhawatirkan,” kata Cecep.
Cecep melanjutkan yang perlu diperhatikan oleh warga DKI Jakarta adalah bagaimana mempersiapkan diri terhadap kemungkinan gempa mengingat DKI Jakarta merupakan daerah dengan kepadatan penduduk dan berbagai fasilitas struktur dan infrastruktur vital.
Sejalan dengan itu BMKG , Kementerian Pekerjaan Umum, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta berencana melakukan kerjasama dalam kegiatan monitoring gempa-gempa mikro. Juga membuat mikrozinasi wilayah Jakarta untuk mitigasi dan rencana tindak agar risiko potensi bencana gempa bumi dapat diminimalkan.
Menurut Ketua Tim Revisi Peta Gempa dari ITB, Masyhur Irsyam yang menyebabkan jatuhnya korban saat gempa bumi terjadi karena robohnya bangunan.
“Ada dua alasan mengapa bangunan bisa roboh saat gempa, pertama karena kualitas bangunan yang tidak baik dan kedua goyangan di batuan dasar tanah pada kondisi tanah yang tidak baik,” ujar Masyhur.
Goyangan di batuan dasar tanah saat gempa akan mengguncangkan bangunan di atasnya. Sehingga kondisi tanah menjadi penting diperhatikan oleh masyarakat.
“Kondisi tanah di bagian utara Jakarta lebih buruk dari kondisi tanah di selatan Jakarta. Jadi masyarakat Jakarta Utara harus mengetahui dan bersiap jika terjadi gempa di sekitar Jakarta maka goyangan di Jakarta Utara akan lebih terasa dibandingkan wilayah lainnya,” jelas Masyhur.
Untuk mengetahui kondisi tanah itu diperlukan alat ukur batuan dasar di kedalaman sekitar 300-500 meter di bawah tanah (mikrozonasi).
DKI Jakarta lanjut Masyhur sangat memerlukan mikrozonasi wilayahnya untuk mendeteksi goyangan akibat gempa di batuan dasar tanah apalagi di Jakarta ada ribuan triliunan bangunan di atasnya.
“Karena itu pembuatan mikrozonasi kerjasama BMKG,PU, Pemda DKI dan ITB ini langkah positif yang perlu di contoh daerah lain. Walau agak terlambat tetapi mikrozonasi yang akan dibuat di lima titik di Jakarta bisa menjadi peta emerjensi saat terjadi gempa,” tutur Masyhur.
Saat ini Masyhur menyebut ia dan timnya sudah memeriksa bahwa bangunan lantai delapan ke atas yang ada di Jakarta sudah dibangun berdasarkan standar tahan gempa. Ke depan bangunan di DKI disarankan agar pembuatan bangunannya memenuhi standar tahan gempa hingga 0,20 g. ***