Jakarta, Technology-Indonesia.com -Penanganan sampah menjadi masalah serius terutama di kota-kota besar di Indonesia. Para periset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) membentuk Kelompok Riset (KR) Waste to Energy untuk membantu memberikan alternatif solusi pengelolaan sampah menjadi bahan baku atau produk bernilai tambah tinggi.
Perekayasa Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi (PRKKE) BRIN, Agus Kismanto menuturkan proses penyelesaian masalah sampah seharusnya diawali dengan bagaimana melakukan pemilahan sampah dengan baik dan benar. “Jika sampah sudah dipilah, maka akan banyak teknologi yang bisa mengolah sampah yang jenisnya spesifik,” ujar Agus dilansir dari laman brin.go.id pada Sabtu (29/7/2023).
Agus mengungkap yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengedukasi dan menegakkan peraturan agar masyarakat mau memilah sampah di rumah masing-masing. Sebelumnya Agus beserta tim telah melakukan sebuah eksperimen sosial proses pemilahan sampah di masyarakat sekitar tempat tinggalnya.
Menggunakan alat inovasi pengolah sampah organik (Lahsamor) yang dibagikan kurang lebih ke 80 rumah tangga, timnya berhasil mendapatkan hasil yang cukup memuaskan. Sekitar 70% masyarakat tersebut mau dan telah melakukan pemilahan sampah dengan tertib. Sehingga sampah-sampah tersebut dapat dengan mudah diolah untuk proses selanjutnya.
Agus sangat optimis, apabila pemerintah berani membuat peraturan pemilahan sampah dan menegakkannya, maka 100% pemilahan di masyarakat akan berhasil. Karena, peraturan dan penegakkannya diperkirakan butuh waktu yang cukup lama untuk diimplementasikan.
Agus mengungkap BRIN harus membuat inovasi peralatan pemilah sampah berskala besar dengan kapasitas minimal 100 ton/hari. Dengan Waste Sorting Machine skala besar, maka pengolahan produk terpilah dapat mencapai skala keekonomiannya.
“No.0 adalah inovasi peralatan pemilah sampah skala besar, sekitar100 ton/hari. Mengapa no.0? Karena ini prasyarat agar teknologi pengolahan untuk mengolah atau menghabiskan sampah yang sudah spesifik dapat masuk,” jelas Agus.
“Mengapa 100 ton? Ini skala yang cukup bagus untuk dilakukan di kota-kota kecil, dan kecamatan atau beberapa kecamatan di kota besar. Pengolahan sampah dapat terdesentralisasi dan hemat transport,” imbuhnya.
Lebih lanjut Agus menjelaskan, jika sampah sudah dipilah dengan baik, maka dapat diolah menjadi produk yang bermanfaat. Dari pemilahan sampah ini ada sekitar 5-10% sampah berharga yang bisa langsung dijual. Sampah lainnya, sampah organik misalnya, dapat digunakan di peternakan maggot.
Proses biokonversi oleh maggot dapat mengolah sampah lebih cepat, tidak berbau, dan menghasilkan kompos. Larvanya dapat menjadi sumber protein yang baik untuk pakan unggas dan ikan. Peternakan maggot ini harus ada sentuhan inovasi agar menjadi ekonomis. Peternakan maggot harus dimekanisasi dan diotomatisasi agar jumlah operatornya minimal.
Menurut Agus, sampah organik ini bisa berkisar antara 30-60%, atau 30-60 ton perhari, dan operatornya maksimal 10 orang agar usaha ini untung. Untuk itu maggot farm perlu inovasi dalam mekanisasi proses peternakan.
“Maggot yang dihasilkan tidak dijual ke luar, tetapi langsung dimanfaatkan di ternak ayam dan lele yang menyatu dengan peternakan maggot. Ini akan hemat biaya transport dan mengurangi biaya pasca panen maggot yang mahal dan rumit,” jelas Agus.
Sebenarnya sampah organik juga bisa diolah menjadi kompos. Sayangnya kompos ini sulit dijual dan harganya rendah. Lain halnya dengan lele dan ayam yang pasarnya matang dan stabil.
Sementara itu untuk sampah plastik yang sudah tidak laku dijual, inovasi harus bisa mengolah sampah tersebut yang biasanya kotor. Plastic Oil Plant dengan teknologi pirolisa akan mengolah sampah plastik menjadi pengganti BBM, LPG dan CNG. Alatnya harus bekerja secara kontinyu, dan bahan bakarnya dapat menggunakan kategori sampah mudah terbakar non plastik.
Dalam hal ini, BRIN mengembangkan alat pengolahan sampah plastik menjadi BBM pada skala komersial/industri agar alat ini menguntungkan Alat ini berbahan bakar jenis sampah mudah terbakar non-plastik.
Jadi alat ini dapat mengurangi 2 jenis sampah sekaligus. Saat ini alat yang sudah diciptakan berkapasitas 1 ton sampah plastik yang bisa menghasilkan 400-600 liter minyak per hari, tergantung kadar air dan kadar kotoran dari sampah plastiknya
Sedangkan untuk sampah mudah terbakar non plastic dan sisanya, misal jenis daun dan ranting, bisa dijadikan pellet biomassa yang dapat diolah oleh Biomass Gasifier menjadi synthetic gas pengganti LPG dan CNG. UMKM dan industri dapat memanfaatkan inovasi ini.
“Lalu sampah sisanya dimusnahkan dengan teknologi pembakaran Biomass Power Plant kalau bisa, untuk menghasilkan listrik. Hal ini sangat mungkin, karena sampah organik basahnya sudah dimanfaatkan sebagai bahan baku ternak maggot. PLTSa nya akan murah biaya operasi dan investasi,” imbuh Agus.
Dengan inovasi-inovasi tersebut, jumlah sampah akan menjadi kurang dari 10% nya berupa sisa-sisa bahan bangunan yang bisa ditimbun dan tidak menimbulkan bau serta gunungan sampah.
Agus menilai alat hanya tools untuk menyelesaikan masalah. BRIN harus bisa menciptakan inovasi dengan biaya investasi dan operasi yang rendah, tetapi produk yang diolah bisa bernilai jual tinggi. Mimpinya, sampah yang dikirim ke TPA, bisa diolah dengan tipping fee kurang dari Rp.100/kg, syukur-syukur bisa zero tipping fee.
“Kami akan bekerjasama dengan industri pengelola sampah di Jabodetabek untuk memakai peralatan kami. Saat ini mereka bisa membawa sampah plastik dan operatornya kesini, nanti minyak hasilnya dapat dibawa pulang. Keuntungan untuk BRIN, kami bisa menguji alat agar lebih sempurna,” terang Agus.
Lebih lanjut ia menambahkan, pihaknya ingin membuat desain (inovasi) yang per unitnya bisa mengolah sampah sekitar 100 ton per hari. Harapannya inovasi ini bisa layak dikomersialkan, karena investor akan mendapatkan banyak keuntungan.
Jika investor berebut mengolah sampah, maka dengan sendirinya masalah sampah akan selesai. “Tapi itu tentu tidak mudah. Jadi kami mengajak rekan-rekan periset dan industri agar bekerjasama,” ujarnya.
Meskipun begitu, Agus menekankan tetap harus ada peraturan pemerintah yang dapat ‘memaksa’ masyarakat untuk mulai melakukan pemilahan sampah di rumah. Sehingga lambat laun budaya memilah sampah akan terbentuk dengan sendirinya dan menjadi kebiasaan. Kita harus menjadi masyarakat yang berbudaya maju. Biaya investasi dan pengoperasian unit pengolahan sampah akan dapat ditekan lagi.
Pada kesempatan yang sama, Co-Founder PT. Jangjo startup pengelola sampah, Joe Hansen mengungkap pihaknya sangat menunggu inovasi dan kerjasama dari BRIN. “Kebutuhan kami pada BRIN adalah membuat semua sampah menjadi bernilai,” ujar Joe.
Dari sisi manpower, Joe juga menilai periset harus tahu mendalam permasalahan di lapangan terkait aplikasi risetnya.
“Kedua kami butuh kerjasama riset, alat yang diciptakan harus kita tahu se-real mungkin. Bagaimana endurance mesinnya, maunya bisa beroperasi 24 jam selama 7 hari seminggu. Apalagi untuk sampah, kalau tertunda sehari saja bisa makin menumpuk,” jelasnya.