Gondol – Sejak 2008, Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan (BBRBLPP) Gondol telah berhasil memproduksi benih abalon (Haliotis squamata) yang indukan awalnya diambil dari perairan Bali, dengan karakteristik serupa dengan spesies abalon H. diversicolor yang hidup di perairan Taiwan.
Proyek budidaya kerang abalon yang dirintis para peneliti BBRBLPP Gondol ini terbilang sukses. Pasalnya, hingga kini BBRBLPP mampu mempercepat periode panen abalon dibandingkan menggunakan teknik pengembangbiakan secara alamiah.
“Budidaya abalon dari hulu ke hilir memakan waktu sampai 1,5 tahun. Sedangkan jika dihitung dari ukuran benih 2,5cm hingga ukuran konsumsi sekitar 5-6cm, abalon baru bisa dipanen setelah 8 bulan pemeliharaan. Kita terus berusaha untuk memproduksi abalon dalam waktu yang jauh lebih singkat, namun tetap berkualitas,” terang Ibnu.
Benih abalone hasil riset BBRBLPP, pada awalnya diproduksi pada Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT) di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Dari riset tersebut, selama dua bulan periode pemeliharaan, dapat dihasilkan benih abalon dengan panjang cangkang 0,8-1,1cm dan sintasan 10-14 persen. Pada pemeliharaan lanjutan atau pendederan, benih abalon dalam keranjang tertutup dengan sistem terapung selama 2,5 -3 bulan, diperoleh benih abalon dengan panjang cangkang 2,5 – 3,0 cm dan sintasan mencapai 95-99 persen.
“Melalui data tersebut, dapat diartikan bahwa budidaya abalon memiliki potensi yang tinggi. Penelitian kerang abalon ini dimulai dari koleksi dan transportasi induk, pematangan gonad, pemijahan, pemeliharaan veliger dan juvenil abalon yang dilakukan dalam bak terkontrol. Sedangkan, pembesaran abalon dilakukan dalam bak semen dan juga keramba apung,” jelas Ibnu.
Dalam penelitiannya, sedikitnya terdapat 3 keuntungan dari teknologi budidaya abalon yang digalakkan BBRBLPP. Pertama, teknologi perbenihan abalon terbilang mudah dan sederhana untuk dilakukan oleh masyarakat pembudidaya dan dapat dilakukan sepanjang tahun. Kedua, produksi benih abalon tergolong efisien, ekonomis, dan layak dikembangkan karena dapat diterapkan secara terintegrasi di HSRT Ikan Laut sebagai alternatif usaha tambahan tanpa harus beralih profesi.
Ketiga, teknologi budidaya abalon sangat ramah lingkungan karena tidak menggunakan bahan kimia atau disinfektan, hanya menggunakan mikroalga dan makroalga jenis Gracillaria sp. dan Ulva sp. sebagai pakan pada proses produksi benih sehingga tidak mencemari lingkungan. selain itu, cangkang abalon dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat perhiasan.
“Karena itulah, budidaya abalon dinilai Ibnu sangat menjanjikan. Dalam hitungan kasar, biaya produksi/ekor benih abalon adalah sekitar 600 Rupiah. Sementara saat ini benih abalon untuk pendederan sudah dijual seharga 1.000 Rupiah untuk ukuran 1cm. Tak menutup kemungkinan keuntungan tersebut dapat bertambah mengingat teknologi budidaya abalon dapat diintegrasikan dengan komoditas lainnya seperti kerapu,” tutur Ibnu.
Kepala BBRBLPP, Bambang Susanto, mengatakan bahwa alasan dikembangkannya abalon di BBRBLPP, karena teknologinya sudah dikuasai, dari pembenihannya, pendederan, pembesarannya hingga sudah diaplikasikan ke masyarakat. Selain di Gondol, saat ini BBRBLPP juga tengah melakukan transfer teknologi budidaya pembenihan abalon di wilayah Pangandaran, Jawa Barat serta di Maluku. Bahkan di Maluku, budidaya kerang abalon sudah mulai dirintis pihak swasta dengan basis pemberdayaan masyarakat.
“Masa depan budidaya kerang abalon sangat baik mengingat lahan yang cocok sangat luas. Terlebih pakan abalon terbilang mudah dan relatif murah, berupa makroalga/rumput laut yang banyak di alam maupun dari hasil budidaya. Selain untuk dikonsumsi, abalon juga memiliki nilai artistik. Karena kulit abalon dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat kerajinan. Kita juga tengah memproduksi abalone dalam kemasan kaleng, sehingga pemasarannya tidak hanya merambah pasar lokal tapi juga manca negara,” papar Bambang.