Jakarta, Technology-Indonesia.com – Upaya penambangan mineral logam membutuhkan energi yang besar. Seiring program pemerintah dalam pengurangan emisi gas karbon, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan teknologi penambangan mineral logam dengan memanfaatkan energi bersih.
Teknologi tersebut dikupas mendalam pada PROF TALKS yang mengusung tema Potensi Masa Depan Batuan Sumber Laterit Nikel, Endapan Plaser dan Pemrosesan dengan Memanfaatkan Energi Bersih Berbasis Batubara pada Selasa (13/6/2023).
Kepala Pusat Riset Sumber Daya Geologi BRIN, Iwan Setiawan menjelaskan mineral logam yang menjadi primadona di dunia industri seperti nikel, krom, kobal, vanadium, emas, perak tembaga dan mineral lainnya ditemukan pada batuan dalam lingkungan geologi tertentu.
Untuk nikel, krom kobalt ditemukan pada batuan lersolit, harsburgit dan dunit terutama ditemukan di Indonesia timur seperti Sulawesi, Halmahera dan Pulau Obi.
“Sementara logam tanah jarang (LTJ) banyak ditemukan di Kepulauan Riau, Bangka-Belitung, dan Sibolga. Pembentukkan unsur logam tersebut terjadi tidak secara kebetulan. Kombinasi proses geologi menyebakan terjadi akumulasi endapan berharga tersebut di permukaan dan di bawah permukaan,” tuturnya.
Iwan menyampaikan bahwa industrialisasi semakin semarak dengan meningkatnya investasi pertambangan di Indonesia, sehingga memerlukan strategi khusus agar industri penambangan tidak seketika selesai.
“Pada penambangan batubara penerapan teknologi batubara bersih (TBB) dengan sistem ramah lingkungan (environmental friendly) dapat mengurangi dan mengendalikan emisi gas buang pada pembakaran sehingga sangat dimungkinkan emisi pembangkit listrik batubara menjadi lebih bersih,” jelasnya.
Saat ini teknologi tersebut masih mahal, tapi ke depan akan lebih murah dan terjangkau. Untuk jangka pendek, PLTU system co-firing merupakan salah satu alternatif.
Co-firing batubara-biomassa bukan pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT), tapi bahan bakar yang digunakan lebih hijau karena dicampur dengan biomassa dibandingkan menggunkan 100% batu bara sehingga emisi menjadi lebih rendah.
Indonesia memiliki 27.74% cadangan nikel dunia. Kondisi seperti ini harusnya menjadi tantangan agar Indonesia dapat menguasai tidak hanya bahan bakunya saja tapi mendorong penguasaan teknologi, pembangunan industri bahan baku modal dalam negeri dan industri turunan logam-logam strategis, diantaranya untuk pertahanan, kesehatan, mobil listrik dan energi.
“Dengan demikian dibutuhkan supply chain bahan baku di sisi hulu agar pembangunan dilakukan berkelanjutan. Banyak endapan logam strategis belum ditemukan menjadi tantangan dunia riset ke depan bagaimana memahami perilaku penyebarannya di bumi ini. Pemahaman geologi endapan mineral akan membantu penemuan sumber daya yang lebih cepat, murah dan efisien,” tuturnya.
Pusat Riset Sumber Daya Geologi fokus dalam mengambil peran riset, inovasi, invensi di bidang sumber daya geologi terutama logam-logam strategis di atas. Iwan menyampaikan perlunya pemahaman karakteristik sumber daya mineral itu penting sebelum mengembangkan pertambangan dan industri di hilirnya.
“Teknologi pemrosesan mineral harus dimulai dari yang jumlahnya kecil, sesuai dengan karakteristik sumber daya mineral yang kita miliki, bukan dimulai dari teknologi impor yang tidak sesuai dengan karakteristik endapan yang kita miliki. Khususnya masyarakat ilmiah diharapkan terpacu akan pentingnya mengembangkan teknologi berbasis sumber daya yang kita miliki,” jelasnya.
Pada Prof Talks BRIN ini memberikan informasi secara holistik pengelolaan sumber daya geologi dari hulu ke hilir.
“Pembahasan fokus pada endapan laterit nikel yang sekarang ini menjadi sumber nikel, primadona bahan baku baterai untuk mobil listrik. Bahan baku yang berlimpah, Pemanfatan teknologi dan strategi transisi energi yang dapat dilakukan di Indonesia adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain,” pungkas Iwan.