Jakarta, Technology-Indonesia.com – Program penanggulangan malaria menargetkan eliminasi malaria pada 2030. Di Indonesia, Kabupaten Sorong Selatan menjadi kabupaten pertama Provinsi Papua Barat yang berhasil bebas dari penularan malaria.
Elisabeth Farah Novita Coutrier, Kepala Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman BRIN mengatakan pada bulan Mei sebanyak 5 provinsi dan 9 kabupaten/kota telah dinyatakan eliminasi malaria.
“Sehingga, total sementara eliminasi malaria hingga April 2023 sebanyak 5 provinsi dan 381 kabupaten/kota yang setara dengan 67% dari 514 kabupaten/kota,” imbuh Elisabeth pada webinar “Menyongsong Eliminasi Malaria 2030: Pengembangan Metode Intervensi Berbasis Lokal” pada Selasa (27/6/2023).
Menurut Elisabeth, Kementerian Kesehatan menargetkan 75% wilayah Indonesia bebas malaria pada 2024. Meskipun telah dilakukan upaya besar-besaran memberantas malaria di seluruh negeri, penularan tetap terjadi di beberapa daerah.
“Semakin banyak bukti resistensi obat antimalaria di dunia dan resistensi vektor nyamuk terhadap insektisida yang tersedia. Karena itu, untuk mencapai tujuan eliminasi malaria di Indonesia, penyesuaian substansial dan langkah-langkah penguatan sistem yang ada, sangat diperlukan,” ungkap Elisabeth.
Untuk itu dibutuhkan inovasi baru ataupun kajian di bidang vektor nyamuk dan status insektisida serta tantangan baru pada daerah yang telah dinyatakan bebas malaria dan efikasi obat antimalaria untuk pengobatan cepat setiap kasus, dalam mencapai tujuan eliminasi malaria di Indonesia.
Upaya Penanganan Malaria di Indonesia
Pada webinar tersebut, Syafruddin, Visiting Researcher di PRBM Eijkman yang juga merupakan Guru Besar Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dan Komisi Ahli Vektor Kementerian Kesehatan, menyampaikan Overview of Toward Malaria Elimination 2030.
Menurutnya, sampai 2009 Indonesia masih mengerjakan malaria control atau penanggulangan malaria, yaitu mengurangi jumlah kasus infeksi dan tidak menjadi permasalahan kesehatan masyarakat atau public health issue.
Pada 2009 telah dicanangkan Indonesia mengadopsi program eliminasi malaria dengan sasaran sedapat mungkin untuk mengurangi atau mencegah terjadinya penularan dengan harapan tahun 2030 tidak ada lagi penularan malaria di Indonesia.
Diperkirakan pada 2050 eradikasi dapat dicapai bukan hanya penularan yang diturunkan menjadi zero atau nol, tetapi juga kasus. “Mulai dari sekarang kita harus konsolidasikan baik Kementerian Kesehatan sebagai pilar utama dalam penanganan malaria maupun oleh lembaga riset dalam hal ini BRIN,” ujar Syafruddin.
“Data malaria selalu diupdate setiap tahun oleh WHO. Tahun 2020 angka kejadian malaria sekitar 247.000 kasus di seluruh dunia terbanyak adalah Afrika, Asia Tenggara dan Asia Selatan. Salah satu negaranya Indonesia, yang patut dicermati ada 3 provinsi sangat mengkhawatirkan yaitu Papua, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur,” rinci Syafruddin.
Pengendalian Vektor Malaria di Papua
Sementara Ismail Ekoprayitno Rozi, Peneliti Ahli Madya PRBM Eijkman, memaparkan materi bertajuk “Tantangan Pengendalian Vektor Malaria di Papua”. Ismail dipresentasikan adalah hasil penelitian pada studi Rapid Entomological Assessment atau studi penilaian entomologi secara cepat di 8 kabupaten endemis malaria tertinggi Provinsi Papua pada tahun 2019 -2020, yaitu di Kabupaten Keerom, Jayapura, Sarmi, Boven Digoel, Mimika, Kep. Yapen, Waropen dan Asmat.
Hasil dari pengumpulan nyamuk dewasa dan survei tempat perindukan disebutkan bahwa nyamuk vektor malaria, 95% berasal dari nyamuk Punctulatus group, dimana spesies Anopheles koliensis dan Anopheles punctulatus adalah spesies dominan, dan sebagian besar badan air yang terdapat larva Anopheles terletak di lokasi pemukiman dan sekitarnya.
“Hal ini menunjukkan perlindungan dalam ruangan terhadap gigitan nyamuk perlu dioptimalkan untuk mengurangi penularan malaria dalam ruangan, sedangkan gigitan nyamuk di luar ruangan belum ditangani oleh kegiatan pengendalian malaria saat ini,” jelasnya.
Ismail merekomendasikan tiga poin, pertama penggunaan kelambu dan IRS harus diprioritaskan untuk desa endemik tinggi, penularan di luar ruangan harus diantisipasi dengan komunikasi sosial dan perubahan perilaku masyarakat, serta mendorong petugas kesehatan berwawasan lingkungan melakukan pengawasan sumber jentik di area pemukiman untuk memitigasi penularan.
Tantangan Eliminasi Malaria
Narasumber lainnya, mahasiswa S3 Degree by Research BRIN di Universitas Indonesia, Dendi Hadi Permana memaparkan “Tantangan Eliminasi Malaria di Indonesia Bagian Barat”. Dendi mengatakan bahwa isu perubahan lingkungan termasuk deforestasi berhubungan erat dengan kesehatan khususnya penyakit menular.
Adanya perubahan lingkungan menyebabkan habitat satwa liar tergeser, menempatkan mereka menjadi lebih dekat dengan manusia yang akan meningkatkan paparan manusia dengan penyakit-penyakit yang secara alami ada pada hewan-hewan liar dan berpotensi berpindah atau dikenal dengan istilah zoonosis.
Dendi berharap, “Perlu adanya inovasi alat dan juga pendekatan berbasis lokal spesifik dalam mengatasi masalah malaria pada populasi migrant dan bergerak atau mobile and migrant population (MMP). MMP yaitu kelompok yang tidak tinggal di satu lokasi dalam waktu yang lama, namun melakukan perjalanan sporadik maupun musiman. Populasi ini rentan terkena malaria dan bisa melahirkan kantong-kantong kasus malaria yang sulit diatasi.”
Resistensi Obat Antimalaria
Narasumber lain dari PRBM Eijkman, Puji Budi Setia Asih dalam pemaparan berjudul, “Resistensi Obat Antimalaria, Perspektif di Masa Depan” mengatakan pentingnya pemberian obat malaria secara rasional, untuk mendapatkan hasil pengobatan/therapeutic yang maksimal.
Penelitian resistensi obat antimalaria sampai saat ini masih terus dilakukan oleh PRBM Eijkman bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin, Kementerian Kesehatan, dan WHO.
Hingga saat ini, hasil penelitian resistensi obat antimalaria belum menemukan trend parasite yang resisten terhadap obat utama Artemisinin/derivatnya, senyawa golongan seskuiterpen lakton yang mengandung jembatan peroksida, dan masih efektif dalam kerja obat artemisinin di Indonesia seperti plasmodium falciparum maupun plasmodium vivax.
“Artemisinin dan derivatives masih memiliki efikasi yang sangat tinggi diatas 90%, namun resistensi terhadap mitra obat dari artemisinin combination therapy (ACT) saat ini seperti piperaquine harus dipantau secara teratur untuk menjaga stok obat kita untuk mencapai eliminasi malaria pada tahun 2030,” pungkasnya. (Ilustrasi Pixabay.com/WikiImages)