Kain Produk Tekstil Bayi Wajib Penuhi SNI

popok2.jpg - 35.18 Kb

JAKARTA – Kain untuk produk tekstil bayi dan anak sampai usia 36 bulan, wajib memenuhi standar SNI 7617:2013 Tekstil. Standar ini mengatur persyaratan zat warna azo, kadar formaldehida dan kadar logam terektraksi pada kain yang bisa dampak negatif terhadap kesehatan dan keselamatan bayi.

SNI 7617:2013 juga berlaku pada kain  untuk produk tekstil yang bersentuhan langsung maupun yang tidak bersentuhan langsung dengan kulit dari berbagai jenis serat tekstil, meliputi kain tenun, kain rajut, dan nir-tenun (non woven) untuk interlining. Namun standar ini tidak berlaku untuk kain dekorasi. 

Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar – Badan Standardisasi Nasional (BSN), Zakiyah mengatakan kain yang digunakan untuk pakaian bayi, tidak boleh mengandung zat warna azo karsinogen. Senyama amina kelompok III ini dapat menyebabkan kanker pada manusia dan hewan.

Kadar formaldehida  dan  kadar logam terekstrasi seperti Cd, Cu, Pb dan Nikel, masih boleh digunakan dengan kadar maksimum tertentu. Misalnya untuk kadar formaldehida pada kain yang bersentuhan dengan kulit maksimum 75 mg/kg. Untuk kain yang penggunaannya tidak bersentuhan langsung pada kulit kadar maksimum 300 mg/kg.

Keberadaan kadar zat tersebut akan diuji  melalui serangkaian  metode uji tertentu. Untuk penentuan zat warna azo pada kain sesuai SNI 7334.1.  Metode uji penentuan kadar formaldehida pada kain  untuk pakaian bayi dan anak sesuai SNI ISO 14184-1. Sementara untuk pengujian kadar logam terekstraksi  menurut SNI 7334.

“Untuk melindungi konsumen, karena kulit bayi sensitif maka terbit Peraturan Menteri Perindustrian yang mewajibkan kain yang digunakan untuk bayi harus memenuhi persyaratan tadi,” kata Zakiyah di Kantor Pusat BSN, Jakarta, Selasa (24/5/2016). Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri No. 7/M-IND/PER/2/2014 dan perubahannya No. 97/M-IND/PER/11/2015.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Bidang Lingkungan dan Serbaneka, Pusat Perumusan Standar – BSN, Hendro Kusumo mengatakan standar ini merupakan SNI metode pengujian bukan SNI persyaratan produk. “Standar ini menetapkan persyaratan zat warna azo dan kadar formadehid. Jadi ada dua parameter yang diuji,” lanjutnya.

Menurutnya, sekarang banyak produk yang dibuat asal murah yang penting laku. Pada saat membeli produk, konsumen jarang memperhatikan tanda SNI. Konsumen hanya melihat harga atau merek. Lama-lama kecenderungan penerapan SNI oleh produsen berkurang karena dari lingkungan atau masyarakat tidak mensupport.

“Padahal kalau menggunakan produk yang memenuhi SNI, masalah K3L dan metode uji sudah dipertimbangkan. Sementara masyarakat masih berorientasi yang penting murah. Makanya diwajibkan penerapan SNI tadi,” kata Hendro.

Menurut Zakiyah, jika ada perusahaan yang tidak memenuhi standar SNI, maka produknya tidak langsung ditarik di pasaran. Kementerian Perdagangan yang bertugas melakukan pengawasan,  akan menginformasikan kepada pelaku usaha.

“Sebelumnya akan diambil sampel kemudian diuji di laboratorium. Jika memenuhi standar tapi belum dapat SNI, itu dilakukan pembinaan ke pelaku usaha. Kalau tidak memenuhi standar, perusahaan tadi diminta untuk menarik produk tersebut dari peredaran,” kata Zakiyah.

Tanda SNI, lanjut Zakiyah, juga akan dicek apakah benar-benar diterbitkan oleh lembaga sertifikasi atau tidak. “Kita bisa lihat dari Nomer Registrasi Produk (NRP). Kalau tidak punya NRP, berarti palsu,” paparnya.

Berdasarkan data Komite Akreditasi Nasional (KAN), hingga kini ada 133 perusahaan di bidang pakaian bayi yang produknya telah memperoleh SPPT (Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda) SNI.

 

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author