Ambruknya infrastruktur di negeri ini akan terus mengintai jika pola pengerjaan bangunannya tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Jangan heran jika sebanyak 80 persen bangunan di Indonesia dibangun di bawah spesifikasi standar.
Sekretaris Umum Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasonal (LPJKN) Ir. S. Poltak H. Simorangkir, SH, menyebut jembatan Kutai Kartanegara yang dibangun dengan biaya Rp940 miliar seharusnya dibuat untuk kekuatan yang bisa bertahan hingga ratusan tahun.
“Kalau betul-betul jembatan itu dibuat dengan anggaran seperti itu kualitasnya bisa bertahan di atas 100 tahun,” katanya di Jakarta, Rabu (18/1).
Poltak melanjutkan ambruknya jembatan Kutai Kartanegera tersebut ada kemungkinan salah satu penyebabnya adalah pada awal pembangunannya, kontraktor berada dibawah tekanan. Dari pengalamannya selama ini ada ketentuan yang tidak menguntungkan kontraktor di Indonesia saat mengerjakan proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai dari APBN.
“Penyedia jasa di dalam kontrak kerjanya tidak boleh memasukkan biaya jasa konstruksi sehingga keuntungannya di ambil dari spesifikasi. Atau kalau tidak kami akan menekan jasa tukangnya karena jasa kami para kontraktor tidak dihitung,” jelas Poltak.
Terkait pengerjaan proyek pemerintah kontraktor pada praktiknya menurut Poltak kerap dibuat lemah posisinya. Mulai dari pengumuman tender hingga penilaian pengerjaannya atau monitoring pemerintah yang berperan besar. “Kami ini seperti pengemis yang minta pekerjaan,”kata Poltak.
Hal itu terjadi menurut Poltak karena tidak adanya kesetaraan antara penyedia jasa dan pengguna jasa kontruksi. Namun dengan adanya UU No.18 Tahun 1999 tentang peran penyedia jasa konstruksi peran jasa kontruksi perlahan meningkat misalnya bisa terlibat dalam monitoring sebuah pembangunan infrastruktur.
Berdasarkan amanat undang-undang itu juga terbentuklah LPJK yang anggotanyaterdiri dari empat unsur yakni, pemerintah (sebagai pengguna jasa kontruksi), asosiasi badan usaha/asosiasi profesi, perguruan tinggi dan para pakar. Selama 12 tahun sejak pembentukannya, LPJKN telah mensertifikasi 186.000 badan usaha, memberikan sertifikasi ahli teknik kepada 324 orang.
“Tetapi dengan kondisi itu peran Kementerian Umum dan Pemerintah berkurang. Hingga muncullah LPJK versi Pemerintah berdasarkan Permen PU No.10 Tahun 2011 dan menyedot hampir sebagian anggota LPJK versi UU No.18 Tahun 1999,” ucap Poltak.
Dampaknya menurut Poltak adalah dualisme peran wadah penyedia jasa konstruksi dan. Tidak mustahil jika peran pemerintah yang begitu besar terhadap penguasaan proyek menyebabkan para pengusaha kontruksi yang masih tergabung dalam UU No.18 Tahun 1999 terancam gulung tikar karena kemungkinan akan sulit mendapatkan proyek.
“Kami sudah berupaya selama ini untuk adanya keteraaan itu tetapi kalau kami terus berjuang tanpa adanya titik temu, maka kami tinggal berdoa saja. Hati-hati saja karena semua pembangunan dibangun di bawah spesifikasi dan kemungkinan bencana teknologi seperti Kukar akan semakin sering terjadi,” kata Poltak.