Limbah Rumen Sapi untuk Remediasi Tanah Tercemar

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Setiap aktivitas penyembelihan hewan seperti sapi di Rumah Pemotongan Hewan (RPH), pasti akan menghasilkan rumen yang menumpuk dan kurang dimanfaatkan. Melihat kondisi tersebut, salah satu profesor di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya berhasil memanfaatkan limbah rumen tersebut menjadi obat bagi tanah bekas pertambangan supaya tidak mengandung limbah kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).

Setelah sapi disembelih, pasti masih terdapat sisa-sisa makanan yang tersimpan di dalam bagian sistem pencernaan sapi tersebut. Sisa makanan itu biasa disebut dengan rumen. Kota Surabaya memiliki banyak sekali rumah potong sapi. Namun, selama ini rumen yang didapat dari hasil pemotongan sapi langsung saja dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Hal inilah yang menjadi latar belakang penelitian oleh Prof. Dr. Yulinah Trihadiningrum, MApp. Sc. bersama beberapa mahasiswanya.

Guru besar dari Departemen Teknik Lingkungan ITS tersebut menjelaskan, rumen yang telah dikomposting memiliki kandungan Fosfor (P) dan Nitrogen (N2) yang cukup tinggi. Sehingga bila digabung dengan sampah kebun, akan sangat efektif untuk memberi makan bakteri guna menguraikan tanah pada daerah bekas pertambangan yang beracun.

Menurut Yulinah, bakteri yang ada dalam tanah tersebut, bila dapat terpenuhi kebutuhannya akan bisa menghasilkan biosurfaktan. Secara mudahnya, biosurfaktan merupakan senyawa yang bisa menggabungkan antara molekul air dengan molekul minyak.

Biosurfaktan tersebut selain merupakan senyawa alamiah, juga tidak berbahaya sama sekali bagi lingkungan hidup. “Selain itu, biaya untuk pembuatan surfaktan tersebut masih bisa dikatakan sangat murah,” papar lulusan doktor bidang Manajemen Kualitas Air dari University of Antwerp, Antwerpen, Belgia ini.

Lebih lanjut Yulinah mengatakan sebenarnya biosurfaktan secara komersial sudah ada. Namun, masih berbasis dengan reaksi-reaksi kimia. Sehingga setelah pemakaian ‘deterjen’ komersial tersebut, akan terdapat sisa-sisa zat kimia yang masih ada di dalam tanah. Zat kimia tersebut juga dianggap belum sepenuhnya aman. “Di samping itu semua, ‘deterjen’ komersial juga dinilai cukup mahal ketimbang ‘deterjen’ dari rumen sapi,” ujarnya.

Dalam penelitiannya, Yulinah dan timnya menggunakan sampel tanah tercemar dari pertambangan minyak rakyat yang terletak di Desa Wonocolo, Bojonegoro, Jawa Timur. Kandungan pencemar minyak bumi dalam tanah di kawasan tambang tersebut hingga 10 kali lipat dari baku mutu yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 128 tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknik Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi Secara Biologis.

Karena itu, perempuan asal Bogor ini bersedia jika sewaktu-waktu hasil dari risetnya diminta untuk diterapkan oleh pemerintah. Namun, diperlukan kondisi lingkungan yang mendukung, mengingat mekanismenya melibatkan aktivitas mikroorganisme yang membutuhkan kontrol kelembaban, pH, aerasi, dan suhu pada kondisi optimum. “Jadi diperlukan prasarana yang memadai untuk menerapkan metode bioteknologi ini,” tutur Yulinah mengingatkan.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014). Buku terbarunya, Antologi Puisi Kuliner "Rempah Rindu Soto Ibu"
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author