LIPI Rilis Data Terbaru Kondisi Terumbu Karang Indonesia

alt
 
Jakarta, technology-indonesia.com – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Oseanografi merilis data terbaru status kondisi terumbu karang Indonesia pada 2017.  Pusat Oseanografi LIPI mengungkapkan sekitar 6,39% terumbu karang dalam kondisi sangat baik, 23,40% kondisinya baik, 35,06% kondisinya cukup dan 35,15% dalam kondisi jelek. 
 
Data tersebut merupakan hasil verifikasi dan analisis data dari 108 lokasi dan 1.064 stasiun di seluruh perairan Indonesia. Pengukuran kondisi terumbu karang didasarkan pada persentase tutupan karang hidup yaitu kategori sangat baik dengan tutupan 76-100%, baik (tutupan 51-75%), cukup (tutupan 26-50%) dan jelek (tutupan 0-25%).
 
Pengumpulan data kondisi terumbu karang Indonesia merupakan bagian dari tanggung jawab Pusat Penelitian Oseanografi LIPI yang diberi amanah sebagai Walidata Karang Indonesia dalam Program Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). 
 
“Data status terumbu karang pada tahun ini diharapkan dapat digunakan semua pihak dalam penyusunan kebijakan, upaya rehabilitasi, pengelolaan dan konservasi terumbu karang nasional,  serta dapat memberikan prediksi kondisinya di masa yang akan datang,” ungkap Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Dirhamsyah dalam Penyampaian Status Kondisi Terumbu Karang dan Padang Lamun di Indonesia 2017, di Jakarta, Rabu (7/6/2017).
 
Dirhamsyah menyampaikan data tersebut merupakan kondisi terumbu karang Indonesia hingga akhir 2016. Data dikumpulkan melalui penelitian intensif dalam waktu yang cukup lama. “Idealnya data ini disampaikan pada akhir tahun 2016 atau awal tahun 2017,” lanjutnya.
 
Secara rata-rata, berdasarkan hasil monitoring jangka panjang sejak 1993, terjadi kecenderungan peningkatan kondisi terumbu karang Indonesia ke arah yang lebih baik. Walaupun di pengujung 2016 terjadi sedikit penurunan. Hal ini disebabkan pada 2015 dan 2016 hampir di seluruh perairan Indonesia terjadi pemutihan karang yang diikuti dengan infeksi penyakit dan serangan hama.
 
“Pada kondisi terumbu karang “sangat baik” walaupun cenderung konstan, namun pada 2016 terjadi kenaikan sebesar 1,39%, sebagai indikasi peningkatan luasan dan efektifitas kawasan konservasi perairan serta upaya rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang di Indonesia,” katanya. 
 
Peneliti senior Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Suharsono memaparkan sebaran terumbu karang Indonesia ditemukan mulai dari perairan Sabang sampai Merauke dengan konsentrasi sebaran tertinggi berada di bagian tengah dan timur perairan Indonesia meliputi perairan Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara, Maluku dan sekaligus menjadi pusat segitiga keanekaragaman karang dunia (coral triangle). 
 
Hasil pengukuran terkini melalui pemetaan citra satelit, luas terumbu karang Indonesia mencapai 25.000 km2 atau sekitar 10% dari total terumbu karang dunia (luas 284.300 km2). Terumbu karang Indonesia juga merupakan penyumbang terbesar sekitar 34% dari luas terumbu karang di wilayah segitiga karang dunia (luas 73.000 km2). 
 
“Menjadi pusat segitiga karang dunia, Indonesia memiliki kekayaan jenis karang paling tinggi yaitu 569 jenis dari 82 marga dan 15 suku dari total 845 jenis karang di dunia,” paparnya.
 
Suharsono mencontohkan, jenis karang Acropora di Indonesia mencapai 94 jenis dari total 124 jenis atau sekitar 70% karang Acropora ditemukan di Indonesia. Sedangkan di perairan Karibia, hanya ditemukan tiga jenis karang Acropora. Begitu juga jenis karang Famili Fungiidae, ditemukan 41 jenis dari total 43 jenis yang ada di dunia atau sekitar 90% tersebar di perairan Indonesia. 
 
Jenis-jenis karang endemik yang ditemukan di perairan Indonesia antara lain Acropora suharsonoi, Isopora togeanensis, Acropora desalwi, Indophyllia macasserensis dan Euphyllia baliensis. Jenis karang dengan sebaran terbatas dan merupakan “share stock” dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik juga ditemukan di perairan Indonesia antara lain Acropora kasuarini, Acropora rudis dan Acropora turtuosa.
 
Menurut Suharsono penurunan status kondisi terumbu tidak hanya terjadi di Indonesia. Terumbu karang di negara lain seperti di Australia, Jepang, dan Floridia (Caribbean) statusnya juga mengalami tren penurunan. “Akar masalahnya adalah rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan nilai tinggi terumbu karang, kemiskinan, keserakahan, serta perubahan iklim,” paparnya.
 
Suharsono mengungkapkan penyebab utama kerusakan terumbu karang antara lain pemakaian alat tangkap ikan yang merusak seperti penggunaan bom, peningkatan pencemaran, dan peningkatan pengembangan wilayah pesisir. Pemanasan global juga memicu terjadinya pemutihan karang (coral bleaching) serta peningkatan jumlah penyakit dan hama. 
 
Kejadian pemutihan karang ini disebabkan oleh kenaikan suhu air laut akibat fenomena anomali cuaca El-Nino. Para ahli memperkirakan pemutihan karang akan sering terjadi di masa yang akan datang akibat kombinasi dengan perubahan iklim dan pemanasan global. 
 
“Suhu air laut Indonesia rata-rata 260 Celcius. Kenaikan suhu 2-3 derajat cukup membuat terumbu karang stress. Suhu air yang turun juga bisa menyebabkan coral bleaching,” terangnya.
 
Menurut Suharsono, upaya mempercepat pemulihan terumbu karang bisa dilakukan antara lain melalui transplantasi. Selain itu perlu mengelola aktivitas manusia untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya keberadaan terumbu karang.
 
 
Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author